Sabtu, 21 April 2018

Antologi Prosa : Puisi dan Istri





Meski bukan pujangga, tapi karya sastra mistisme oriental semacam Kahlil Gibran sudah habis saya baca semasa SMA. Hingga sempat mencicipi karya erotik-surealis-politik Pablo Neruda, seorang Komunis yang sempat sebentar menjadi Senator di Chilli.

Maka tak ayal, dalam kosakata tuturpun tak luput dari aroma puitis sisa - sisa buku sastra yang telah dibaca, hingga beberapa orang seringkali menangkap puisi yang kian tanpa sengaja terucap.

Hingga pada suatu waktu, saya bertemu dengan seorang perempuan yang kini menjadi istri. Melihat riwayat puitik itulah seringkali dia menagih beberapa syair.

"Buatkanlah sebuah syair untukku", pinta istriku disuatu malam yang menahan kantuk.

"Kamu. Istriku.", ucapku menguap menghadap tembok.

Semalaman itu Istriku kesal bukan kepalang, dicacinya diriku karena dianggap lebih romantis kepada kisah masa lalu. 

Kusadari rasa kesal yang tak kunjung reda. Pada malam berikutnya, aku jelaskan lebih lanjut apakah itu puisi 'Kamu. Istriku'.

"Puisi itu adalah satu waktu dimana kita dapat melewati rasa suka cita yang melayang di angkasa sekaligus kita merasakan kubangan air mata", jelasku dengan alur yang umum - khusus.

"Dan itulah : Kamu. Istriku. Ialah suka dan duka dalam satu waktu. Karena api yang panas memiliki separuh dingin. Karena cahaya yang terang memiliki separuh kegelapan. Karena kebahagiaan bersamamu memiliki separuh duka"

Kemudian aku kembali tertidur menghadap tembok. Bangun di pagi setelahnya dengan biasa. Sangat biasa.

Kamis, 16 November 2017

Apa Hubungan Penolakan Reklamasi Teluk Benoa dengan Pilgub Bali 2018?



Setelah PDI Perjuangan menetapkan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan 'diadu' dalam Pilkada Serentak 2018 yakni Wayan Koster - Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (KBS - ACE). Obrolan mengenai politik menghangat di Bali, baik di dunia nyata baik baik di dunia media sosial.

Beragam isu dipakai membela Pasangan Calon idola dan menyerang Pasangan Calon lawan. Tetapi kita akan fokus pada salah satu isu yang paling menarik yaitu : Reklamasi Teluk Benoa. Oh ya, tulisan ini tidak akan masuk pada wilayah mendukung atau menolak reklamasi Teluk Benoa (mungkin akan dibuat tulisan yang terpisah). Tulisan ini bukan pula dibuat dalam kepentingan untuk memberi predikat kepada figur tertentu bahwa dia menjadi bagian yang menolak ataupun mendukung Reklamasi Teluk Benoa. Tulisan ini dimaksudkan adalah memberikan posisi yang 'layak' isu Reklamasi Teluk Benoa terhadap perhelatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali Tahun 2018. Paham?

Penolakan Reklamasi Teluk Benoa dan Pilkada Tahun 2013

Meski Tahun 2013 juga sebenarnya tahun pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali (Pilkada) tapi mengapa isu Reklamasi Teluk Benoa baru 'nikmat' dipergunakan menjadi isu pada Pilkada 2018? Jawabannya sederhana, yakni Pilkada 2013 diadakan pada tanggal 15 Mei 2013. Sedangkan penolakan Reklamasi Teluk Benoa 'meluas' pada Agustus 2013. Lebih tepatnya pada 23 Agustus 2013, ketika ForBALI melaporkan Gubernur Bali dan DPRD ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi atas keluarnya SK Reklamasi Teluk Benoa (Cek Kronologi Penolakan Reklamasi Teluk Benoa). Dengan kata lain isu Reklamasi Teluk Benoa di tahun 2013 'beruntung' belum dikait - kaitkan dengan hiruk pikuk Pilkada . Paham situasinya?

Perjalanan Penolakan Reklamasi Teluk Benoa Selama 2013 - 2017 

Perjalanan Penolakan Reklamasi Teluk Benoa memang belum usai karena hasilnya juga masih belum jelas, apakah dilanjutkan ataupun dihentikan Reklamasi Teluk Benoa. Namun, selama tahun 2013 - 2017 penolakan Reklamasi Teluk Benoa mengalami proses yang panjang. Cukup panjang sampai para pemangku kebijakan baik Eksekutif dan Legislatif saling 'tunjuk hidung' tentang siapa yang harus bertanggungjawab dalam memberi jawaban apakah Reklamasi Teluk Benoa dilanjutkan atau dibatalkan.

Yang jelas, isu reklamasi ini akhirnya mengerucut ke beberapa figur politik yang memegang kekuasaan ataupun berada dibelakang layar kekuasaan. Muncul figur - figur yang secara langsung menolak Reklamasi Teluk Benoa, maupun beberapa figur lebih memilih menjawab dengan jawaban yang abu - abu, terkesan masih wait and see.

Penolakan Reklamasi Teluk Benoa dan Pilkada Tahun 2018

Menjelang tahun 2018, Penolakan Reklamasi Teluk Benoa dan Pilkada 2018 menjadi kehilangan batasannya masing - masing. Ada beberapa figur yang 'berjualan' Penolakan Reklamasi Teluk Benoa untuk meningkatkan popularitas (tindakan tersebut bagi saya tidak salah, dan sah). Serta ada juga beberapa figur yang memilih wait and see terhadap penolakan Reklamasi Teluk Benoa malah secara sederhana dituding mendukung Reklamasi Teluk Benoa (bagi saya hal ini juga lumrah).

Namun, menurut hemat saya yang harus dipegang teguh oleh pihak yang menolak Reklamasi Teluk Benoa adalah siapapun Gubernur dan Wakil Gubernur Bali hasil Pilkada 2018 harus dibebankan tugas untuk menghentikan Reklamasi Teluk Benoa. Dengan kata lain, apabila nanti muncul pihak - pihak yang memberi predikat kepada figur tertentu sebagai Pro atau Kontra Reklamasi Teluk Benoa. Maka itu adalah logika yang sesat, logika yang hanya menggiring suara penolakan Reklamasi Teluk Benoa ke kotak suara dalam Pilkada 2018.

Kelompok menolak Reklamasi Teluk Benoa jika hendak melakukan Kontrak Politik dengan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali harus melakukkannya dengan semua Pasangan Calon, supaya tidak merendahkan perjuangan panjang penolakan Rreklamasi Teluk Benoa hanya karena Pilkada 2018.

Pemaron,
16 November 2017

Rabu, 15 November 2017

DEWI KALI YANG MENGINJAK DEWA SIWA


Pernahkah kita melihat suatu ilustrasi yang dimana Dewi Kali menginjak Dewa Siwa. Tentunya ini akan terkesan aneh, karena Dewa Siwa adalah salah satu Dewa yang dihormati di hati umat hindu.

Berikut makna yang terkandung dalam "gambar diinjaknya dada Dewa Siwa oleh Dewi Kali" mempunyai 2 pesan yang ingin diajarkan kepada umatNya;

  1. Makna yang pertama, Dewi Parwati adalah lambang dari Ibu Pertiwi (bumi), sedangkan Dewa Siwa lambang dari Bapa Akasa (langit). Jika kita merusak bumi ini, maka kita akan mendapatkan kesengsaraan, kengerian dan penderitaan. Sehingga langit pun pasti akan ikut tercemar, dan terkena dampak. Kalau hal ini terus merajalela, maka semua kehidupan akan musnah. Intinya sayangi bumi, maka kasih pertiwi dan akasa akan kita peroleh, dan begitu juga sebaliknya jika kita merusak pertiwi maka hanya akan memperoleh bencana dari pertiwi dan akasa.
  2. Makna kedua, yaitu dalam berumah tangga, terkadang banyak hal berat yang mana sang suami tidak mampu menjalankannya, tapi sang istri bisa menyelesaikannya. Kita diajarkan disini untuk tidak perlu malu meminta bantuan pada sang istri. Karena suami istri sesungguhnya adalah satu. Parwati adalah Siwa dan Siwa adalah Parwati. Disini pun kita diberikan sebuah pelajaran, bahwa jika sang istri tidak dibatasi, maka jangan salah jika suatu saat nanti sang suami pun akan diinjak-injak. Intinya jangan remehkan kekuatan wanita, maka dari itu hargailah, jaga dan rawatlah dia. Begitu pula sang istri harus menghargai dan menghormati sang suami sebagai kepala rumah tangga. Karena rumah tangga akan langgeng hanya jika sang raja dan ratunya selalu duduk berdampingan.

Demikian penjelasan singkat, apabila ada yang perlu diperbaiki mohon disampaikan. Mohon di share apabila bermanfaat.

Selasa, 25 Juli 2017

Menjadi Hindu (Yang Terhina)




Belum genap sebulan, media sosial dihebohkan dengan beberapa pemberitaan yang mungkin mengakibatkan perasaan umat Hindu terhina (paling tidak itu istilah yang paling tepat digunakan). Pertama pemberitaan tentang Turis yang bersikap tidak sopan di sebuah Pura di Bali, dan pengerusakan Situs Cagar Budaya Calonarang di Kediri, Jawa Timur. Soal detail dan kronologis dari pemberitaan tersebut saya tidak akan mengulas dalam tulisan ini karena saya yakin banyak tulisan yang lebih detil terkait dengan pemberitaan tersebut. Saya ingin mengajak melihat pemberitaan tersebut dari sisi yang berbeda.

Perasaan Yang Terhina

Seperti yang saya sampaikan di awal tulisan, kehebohan kedua pemberitaan tersebut telah menimbulkan perasaan terhina sebagai umat Hindu. Mengapa? Reaksi terhina itu muncul dari tindakan beberapa orang yang tidak bertanggungjawab melakukan hal - hal yang tidak sopan di 'rumah' tempat melakukan persembahyangan/Ibadah umat Hindu. Ambillah contoh jika ada orang yang tiba - tiba ada orang yang masuk rumah kita dan buah sampah sembarangan, kita sebagai tuan rumah pasti merasa tidak dihargai, pasti merasa terhina.

Karmaphala Tattwa (Keyakinan Terhadap Karmaphala)

Langsung saja saya mengajak untuk masuk kedalam alam berpikir Panca Sradha, yang merupakan lima keyakinan wajib sebagai Umat Hindu, jika Kita mengaku Hindu maka Kita wajib memikirkan, membicarakan dan melaksanakan Panca Sradha ini dalam kehidupan sehari - hari. Agar tulisan ini tidak menjenuhkan, penjelasan tentang Panca Sradha saya tidak akan sampaikan dalam tulisan ini karena saya akan lebih fokus membahas tentang Karmaphala Tattwa sebagai salah satu dari Panca Sradha.

Karmaphala Tattwa dipahami sebagai keyakinan terhadap hukum sebab - akibat (Karma - Pahala). Sederhananya, apapun yang kita lakukan dalam sehari - hari kita akan mendapatkan balasannya. Apabila kita menanam bibit Padi maka kita akan memanen Padi, apabila kita membiarkan sampah di dalam rumah kita maka kita akan memanen lalat dan membuat sakit diri kita sendiri. Begitulah cara kerja Karmaphala.

Lalu apa kaitannya Perasaan yang terhina dengan Karmaphala? Bagi saya, Karmaphala tidak hanya soal 'menunggu' balasan, tetapi Karmaphala juga mendidik kita untuk senantiasa 'melihat kedalam diri'. Jika ada orang yang mengotori rumah kita sembarangan, tidak kemudian semata - mata murka terhadap orang yang membuang sampah tersebut, Apakah kita sudah menutup pagar rumah kita dengan benar sehingga orang lain dengan mudah seenaknya masuk dan membuang sampah. Ataukah kita sering membuang sampah sembarangan dan rumah kita itu kotor dan tidak terurus, sehingga orang lain akhirnya menganggap rumah kita sebagai tempat sampah? Nah, pertanyaan - pertanyaan semacam itu akan lahir bagi orang yang meyakini adanya hukum sebab - akibat (Karmaphala), tidak kemudian reaksioner menyalahkan orang lain yang mengotori rumah kita itu.

Barangkali ilustrasi diatas masih terasa umum apabila dibandingkan dengan kedua pemberitaan yang sempat saya bahas di awal - awal tulisan ini. Namun, dari ilustrasi itu saya ingin mengajak semua umat Hindu yang mungkin merasa terhina untuk 'melihat kedalam' penyebab kenapa terjadinya pengerusakan Situs Cagar Budaya yang identik dengan umat Hindu di Kediri, Jawa Timur dan terjadi tindakan yang tidak menghormati kesucian Pura oleh turis asing tersebut. Apakah kita sudah benar - benar menjaga kesucian Pura dengan memberikan pemahaman kepada setiap Guide dan turis asing yang berkunjung di Bali? Sehingga apakah kita benar - benar merasa terhina atau kita memang belum bisa menjaga diri dengan baik?

Tulisan ini terbuka untuk didiskusikan di kolom komentar dibawah ini untuk membangun pandangan yang lebih positif dalam kehidupan beragama Hindu serta kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Terima Kasih

Pemaron,
25 Juli 2017


Jumat, 30 Juni 2017

Politik Identitas dalam Demokrasi Indonesia


Beberapa waktu yang lalu saya 'terjebak' di basement parkir sebuah kantor. Ceritanya sedang menjadi supir mengantar beberapa orang yang sedang berkegiatan di dalam kantor tersebut, karena cuma menjadi supir maka berkumpulah saya dengan 'para supir', 'tukang sapu', 'petugas kebersihan', dan para 'Satpam' di basement parkiran. 

(catatan : sekedar pemberitahuan, satu paragraf awal diatas adalah deksripsi yang di-enkripsi. Artinya variabel predikat dan subjek di ganti sedemikian rupa, namun tetap bisa menggambarkannya bagi mengenal saya. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi  subjek dari penyelewengan pemahaman dari tulisan ini. Supaya pembaca fokus pada 'isi' pembicaraan bukan pada 'siapa' yang bicara. Paham? Kalau belum paham, minum air putih dulu, hehe..)

Demokrasi Indonesia

Awalnya saya dengan Pak Satpam (sebut saja demikian), mengawali obrolan cerita tentang Demokrasi Indonesia dengan sejarah politik Indonesia, cara pandang kami sama, yakni sepakat pada sejarah Indonesia yang penuh tikungan, mulai dari transisi dari Orde Sokarno sampai Orde Soeharto yang memang tidak semulus pipi Dian Sastrowardoyo. Hingga membicarakan reformasi Indonesia yang ibarat keran, alirannya terlalu deras. Meluber kemana - mana.

Namun selisih ide mulai tampak disaat Pak Satpam menggugat demokrasi Indonesia yang one man one vote ditengarai sebagai penyebab masyarakat terbelah - belah. Ada belahannya berdasarkan pada Agama, Suku, Ras, Antar Golongan, Jenis Kelamin, dan seterusnya... Seterusnyaaa.. Pokoknya terbelah - belah. Bagai semangkuk bakso yang disenggol jatuh kebawah, mangkok keramik pecah dan baksonya berhamburan kemana - mana.

Saya sendiri secara konsep memang tidak 100% sepakat dengan pemilihan dengan menggunakan pemilihan langsung per satu suara. Karena kalau dibenturkan dengan tekstual pada Sila ke 4 : "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan" saja sepintas sudah dapat dimengerti kalau mestinya proses kebijakan yang ada di Indonesia harus menggunakan mekanisme perwakilan yang bermusyawarat. (Oh ya, saya tidak akan membahas hal ini secara tajam dalam tulisan kali ini).

Hanya saja secara situasi di Indonesia yang terlalu lama rakyatnya dijauhkan dari politik pada Orde Baru menurut saya akhirnya membuat saya sepakat, bahwa Indonesia lebih cocok dengan menggunakan sistem one man, one vote. Karena sistem pemilihan langsung persatu suara ini melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses menentukan pemimpinnya, artinya proses pembelajaran politik masyarakat jauh lebih cepat.

Politik Identitas

Kemudian tentang Politik Identitas, pemahaman Pak Satpam ini saya rasa sedikit menyempit. Pak Satpam mengartikan Politik Identitas sebagai suatu sifat politik yang menggunakan identitas sebagai tameng, sebagai dalih, sebagai kuda tunggangan, sebagai senjata yang kemenangannya bisa melukai kehidupan Indonesia yang harmoni. Kekesalannya membulat ketika merujuk pada situasi dalam Pilkada DKI 2017 lalu yang sepintas Pak Satpam melihat banyak yang terluka secara sosial karena salah satu isu besar yang diusung dalam Pilkada DKI adalah soal identitas.

Saya diam sejenak, mencoba memahami dasar pemahaman dari paham Pak Satpam itu, nah!

Tidak ingin terjebak pada arena definisi sempit tentang Politik Identitas Pak Satpam itu, saya mencoba menarik obrolan ke ruang yang lebih lapang dengan sebuah kesepakatan pendapat terlebih dahulu. Sebuah kesepakatan pendapat bahwa 'susunan Identitas' Indonesia memang tidak berupa 'satuan solid', tapi lebih kepada susunan demi susunan identitas dari bermacam - macam latar yang akhirnya membentuk satu kesepakatan, yakni Indonesia. Ibarat rumah, tersusun dari bata, besi, kayu, genteng, pintu, beton, dan voila setelah jadi bisa disebut sebagai rumah. Sudah bukan disebut bata lagi, sudah bukan disebut besi lagi, sudah bukan disebut kayu lagi, sudah bukan disebut genteng, pintu, beton atau yang lainnya. Tapi sekali lagi, sudah disebut RUMAH!

Dari sana saja sudah jelas, kalau konsekuensi logis dari 'susunan identitas' itu adalah adanya politik identitas yang bersifat keterwakilan. Ketika kita berbicara keterwakilan kita membicarakan kebutuhan, ketika kita berbicara kebutuhan kita berbicara jumlah dari yang berkebutuhan itu, ketika kita bicara jumlah tentu akan ada jumlah yang lebih banyak (mayoritas) dan jumlah yang lebih kecil (minoritas). Sudah tentu suatu kebijakan pemerintah Indonesia niscaya tidak akan memenuhi keinginan semua pihak. Bahkan seringkali mungkin malah merugikan salah satu pihak. Cuma bedanya menurut saya adalah, kebijakan itu jangan sampai merusak gambaran besar Indonesianya, merusak tujuan Indonesianya, merusak cita - cita dilahirkan Indonesianya! Kalau kembali saya menggambarkan seperti membangun suatu rumah, ambilah satu contoh : jangan sampai kita memasang atap, memasang rangka yang berat - berat padahal tiang rumahnya kurus - kurus. Kalau dipaksakan, adanya malah runtuh! ya nggak?

Lalu, bagaimana dengan menghadapi pemanfaatan identitas sebagai komoditi politik sesaat yang justru menimbulkan luka sosial masyarakat? Pemanfaatan identitas sebagai komoditi politik sesaat yang negatif itupula adalah bagian dari konsekuensi logis dari penerapan demokrasi yang one man, one vote diatas 'susunan identitas' Indonesia yang memang beragam itu. Namun, demokrasi yang langsung ini juga membawa peluang sangat besar dalam proses pembelajaran politik masyarakat yang saya sempat singgung tadi.

Pembelajaran politik dalam keterlibatan pada Pemilihan Umum langsung akan membuat masyarakat Indonesia semakin sadar dan cerdas, mana politik identitas yang memang merupakan keterwakilan untuk pembangunan Indonesia yang lebih baik dan mana politik identitas yang dijadikan komoditi dan suksesi semata.

Pak Polisi itu sempat terdiam sebentar, kemudian memberondong pertanyaan kepada Saya, "Lalu berapa lama? 10 Tahun? 20 Tahun? Nanti keburu Indonesia bubar!"

Saya cukup senang menjawab pertanyaan keraguan berdasarkan waktu ini, "Pak, Soekarno ya, itu 20 tahun Indonesia merdeka sempat ditawarkan jabatan oleh Belanda dan menyebut bahwa tidak mungkin Indonesia merdeka, waktu itupula Soekarno langsung menolak. Kenapa? Karena Soekarno punya keyakinan, punya visi, punya cara, dan punya kesabaran dalam keyakinan Indonesia merdeka, mempunyai kesabaran dalam melihat visi Indomesia merdeka, serta mempunyai kesabaran dalam menjalankan cara menuju Indonesia merdeka".

Angin semakin kencang di parkiran basement tempat obrolan saya itu, Saya mohon pamit kepada Pak Satpam itu karena hendak menjalankan tugas kembali.

Pemaron, 30 Juni 2017

Kamis, 08 Juni 2017

Download Album Iwan Fals Terlengkap 1979 - 2010

Bagi sebagian orang Iwan Fals merupakan penyanyi Indonesia yang paling banyak memiliki penggemar fanatik. Bahkan saking legendanya Iwan Fals memiliki perkumpulan khusus yang tersebar di seluruh Indonesia yang bernama OI (Orang Indonesia). Namun dulunya saya sendiri sering kebingungan dalam mencari album Iwan Fals yang terlengkap. Setelah bertahun - tahun akhirnya berhasil saya kumpulkan lagu Iwan Fals album demi album, berikut link download Album Iwan terlengkap sejak tahun 1979 sampai dengan 2010.


Sebagai catatan, setelah menekan link album lagu diatas, klik tombol (skip) pada pojok kanan atas, untuk melanjutkan mendownload album lagu yang dimaksud.

Terima kasih sudah ikut menikmati lagu - lagu Iwan Fals, silahkan komentar di kolom komentar jika menemukan link yang bermasalah.

Selasa, 16 Mei 2017

Algoritma Syukur Sebagai Pembalik Kondisi Suatu Program Kehidupan


Apa hubungannya Algoritma yang notabene bahasa dari anak TI (Teknologi Informasi) dengan Syukur dan Kehidupan? Bingung bukan? Yang jelas tulisan ini tidak akan membahas tentang bahasa TI yang sangat teknis dan belibet itu. Saya hanya meminjam istilah dari Algoritma dan Pemograman untuk semata membuat istilah Syukur dan Kehidupan menjadi lebih punya bentuk. Mengapa? Karena kata "Syukur" dan "Kehidupan" adalah bahasa filosofis yang cenderung absurd dipahami jamak masyarakat Indonesia yang bukan seorang filosofis.

Algoritma dan Pemrograman

Namun ada baiknya saya jelaskan sedikit apakah itu Algoritma dan Pemrograman. Sederhananya, Algoritma dijelaskan sebagai Prosedur untuk memecahkan suatu masalah. Paham? Segitu saja penjelasan saya tentang Algoritma supaya pemahamannya tidak meluber yang justru menjadi lepas dari topik utama.

Sedangkan pemrograman sendiri sederhananya dipahami sebagai Proses menulis, menguji dan memperbaiki. Sekali lagi tentang pemrograman ini saya tidak akan jelaskan terlalu dalam. Bagi yang tertarik terhadap kedua istilah TI tersebut lebih jauh, bisa Googling saja, sederhana bukan?

Syukur dan Kehidupan

Mari kita masuk kepada inti tulisan ini. Apa hubungannya Syukur dan Kehidupan? Syukur dan Kehidupan memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Coba tarik ke dalam konsep berpikir dualitas yakni baik dan buruk, sedih dan bahagia, dan konsep dualitas lainnya. Pada kata "Syukur" merupakan "Algoritma" yang melampaui dengan konsep dualitas itu sendiri. Mau bukti? Orang baik akan bersyukur karena melakukan hal - hal yang baik, sedangkan orang buruk pula akan bersyukur apabila telah melakukan hal yang buruk. Dalam soal pemaknaan dualitas spektrum dari algoritma Syukur melampaui dua sisi berlawanan namun tidak terpisahkan, dualitas. Bingung? Awas kram otak.

Oke peregangan otak dulu.

lalu bagaimana dengan kehidupan? Kehidupan sendiri sejatinya terikat dengan dualitas itu sendiri. Dalam kehidupan sehari - hari ada kebutuhan badaniah yang tidak bisa dihindari, misalnya makan. Jadi ketika makan itu menjadi "baik" dan tidak makan itu menjadi "buruk". Begitu seterusnya, hingga manusia perlahan menciptakan konsep keadaban yang seringkali disebut "sistem", dalam pemahaman lebih teknis "Sistem" tersebut dapat kita temukan sebaga "Agama", "Hukum", "Tata Krama", dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana mengaitkan Algoritma Syukur dalam Pemrograman Kehidupan?

Ini bagian menariknya, meskipun "Syukur" sebelumnya saya sebut sebagai Algoritma yang melampaui dualitas. Makna "melampaui" sendiri pada dasarnya tidak bisa disebut tidak terikat langsung oleh dualitas, makna "melampaui" sendiri juga menempatkan Algoritma "syukur" pada posisi "tidak keduanya, namun tidak pula tiada di keduanya" . (Oke, sengaja saya miringkan ya. Bagi bukan pembaca pikiran Zen harus berulangkali membacanya, bagi yang sudah terbiasa dengan pikiran Zen saya yakin lebih mudah memahaminya.).

Namun (melanjutkan kata "meskipun" pada paragraf sebelumnya) Algoritma "Syukur" juga dapat berguna sebagai "pembalik" kondisi dalam kehidupan kita. Mau contoh? Biasanya dengan contoh kita akan lebih mudah memahaminya. Ini dia contoh Algoritima "Syukur" sebagai pembalik Kondisi yang mudah ditemukan dalam percakapan kita sehari - hari.

"Kemarin sahabatku kecelakaan parah, motornya hancur tidak berbentuk. Temanku tidak sadarkan diri, SYUKUR, temanku tidak terluka."
Mulai sedikit paham bukan? Bagaimana jika kita lihat contoh yang lain.

"Kakeknya meninggal kemarin saja dirumah sakit, SYUKURLAH Kakeknya meninggal, penderitaan sakit puluhan tahun sudah tidak lagi dirasakannya"
Gila bukan? Bagaimana suatu kata syukur membalik kesedihan (yang memiliki unsur buruk) diubah menjadi baik. Bahkan kematian, misteri manusia terbesarpun menjadi hal yang sangat indah didengar.

Mudah - mudahan tidak kram otak.

Pemaron,
16 Mei 2017