Jumat, 30 Juni 2017

Politik Identitas dalam Demokrasi Indonesia


Beberapa waktu yang lalu saya 'terjebak' di basement parkir sebuah kantor. Ceritanya sedang menjadi supir mengantar beberapa orang yang sedang berkegiatan di dalam kantor tersebut, karena cuma menjadi supir maka berkumpulah saya dengan 'para supir', 'tukang sapu', 'petugas kebersihan', dan para 'Satpam' di basement parkiran. 

(catatan : sekedar pemberitahuan, satu paragraf awal diatas adalah deksripsi yang di-enkripsi. Artinya variabel predikat dan subjek di ganti sedemikian rupa, namun tetap bisa menggambarkannya bagi mengenal saya. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi  subjek dari penyelewengan pemahaman dari tulisan ini. Supaya pembaca fokus pada 'isi' pembicaraan bukan pada 'siapa' yang bicara. Paham? Kalau belum paham, minum air putih dulu, hehe..)

Demokrasi Indonesia

Awalnya saya dengan Pak Satpam (sebut saja demikian), mengawali obrolan cerita tentang Demokrasi Indonesia dengan sejarah politik Indonesia, cara pandang kami sama, yakni sepakat pada sejarah Indonesia yang penuh tikungan, mulai dari transisi dari Orde Sokarno sampai Orde Soeharto yang memang tidak semulus pipi Dian Sastrowardoyo. Hingga membicarakan reformasi Indonesia yang ibarat keran, alirannya terlalu deras. Meluber kemana - mana.

Namun selisih ide mulai tampak disaat Pak Satpam menggugat demokrasi Indonesia yang one man one vote ditengarai sebagai penyebab masyarakat terbelah - belah. Ada belahannya berdasarkan pada Agama, Suku, Ras, Antar Golongan, Jenis Kelamin, dan seterusnya... Seterusnyaaa.. Pokoknya terbelah - belah. Bagai semangkuk bakso yang disenggol jatuh kebawah, mangkok keramik pecah dan baksonya berhamburan kemana - mana.

Saya sendiri secara konsep memang tidak 100% sepakat dengan pemilihan dengan menggunakan pemilihan langsung per satu suara. Karena kalau dibenturkan dengan tekstual pada Sila ke 4 : "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan" saja sepintas sudah dapat dimengerti kalau mestinya proses kebijakan yang ada di Indonesia harus menggunakan mekanisme perwakilan yang bermusyawarat. (Oh ya, saya tidak akan membahas hal ini secara tajam dalam tulisan kali ini).

Hanya saja secara situasi di Indonesia yang terlalu lama rakyatnya dijauhkan dari politik pada Orde Baru menurut saya akhirnya membuat saya sepakat, bahwa Indonesia lebih cocok dengan menggunakan sistem one man, one vote. Karena sistem pemilihan langsung persatu suara ini melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses menentukan pemimpinnya, artinya proses pembelajaran politik masyarakat jauh lebih cepat.

Politik Identitas

Kemudian tentang Politik Identitas, pemahaman Pak Satpam ini saya rasa sedikit menyempit. Pak Satpam mengartikan Politik Identitas sebagai suatu sifat politik yang menggunakan identitas sebagai tameng, sebagai dalih, sebagai kuda tunggangan, sebagai senjata yang kemenangannya bisa melukai kehidupan Indonesia yang harmoni. Kekesalannya membulat ketika merujuk pada situasi dalam Pilkada DKI 2017 lalu yang sepintas Pak Satpam melihat banyak yang terluka secara sosial karena salah satu isu besar yang diusung dalam Pilkada DKI adalah soal identitas.

Saya diam sejenak, mencoba memahami dasar pemahaman dari paham Pak Satpam itu, nah!

Tidak ingin terjebak pada arena definisi sempit tentang Politik Identitas Pak Satpam itu, saya mencoba menarik obrolan ke ruang yang lebih lapang dengan sebuah kesepakatan pendapat terlebih dahulu. Sebuah kesepakatan pendapat bahwa 'susunan Identitas' Indonesia memang tidak berupa 'satuan solid', tapi lebih kepada susunan demi susunan identitas dari bermacam - macam latar yang akhirnya membentuk satu kesepakatan, yakni Indonesia. Ibarat rumah, tersusun dari bata, besi, kayu, genteng, pintu, beton, dan voila setelah jadi bisa disebut sebagai rumah. Sudah bukan disebut bata lagi, sudah bukan disebut besi lagi, sudah bukan disebut kayu lagi, sudah bukan disebut genteng, pintu, beton atau yang lainnya. Tapi sekali lagi, sudah disebut RUMAH!

Dari sana saja sudah jelas, kalau konsekuensi logis dari 'susunan identitas' itu adalah adanya politik identitas yang bersifat keterwakilan. Ketika kita berbicara keterwakilan kita membicarakan kebutuhan, ketika kita berbicara kebutuhan kita berbicara jumlah dari yang berkebutuhan itu, ketika kita bicara jumlah tentu akan ada jumlah yang lebih banyak (mayoritas) dan jumlah yang lebih kecil (minoritas). Sudah tentu suatu kebijakan pemerintah Indonesia niscaya tidak akan memenuhi keinginan semua pihak. Bahkan seringkali mungkin malah merugikan salah satu pihak. Cuma bedanya menurut saya adalah, kebijakan itu jangan sampai merusak gambaran besar Indonesianya, merusak tujuan Indonesianya, merusak cita - cita dilahirkan Indonesianya! Kalau kembali saya menggambarkan seperti membangun suatu rumah, ambilah satu contoh : jangan sampai kita memasang atap, memasang rangka yang berat - berat padahal tiang rumahnya kurus - kurus. Kalau dipaksakan, adanya malah runtuh! ya nggak?

Lalu, bagaimana dengan menghadapi pemanfaatan identitas sebagai komoditi politik sesaat yang justru menimbulkan luka sosial masyarakat? Pemanfaatan identitas sebagai komoditi politik sesaat yang negatif itupula adalah bagian dari konsekuensi logis dari penerapan demokrasi yang one man, one vote diatas 'susunan identitas' Indonesia yang memang beragam itu. Namun, demokrasi yang langsung ini juga membawa peluang sangat besar dalam proses pembelajaran politik masyarakat yang saya sempat singgung tadi.

Pembelajaran politik dalam keterlibatan pada Pemilihan Umum langsung akan membuat masyarakat Indonesia semakin sadar dan cerdas, mana politik identitas yang memang merupakan keterwakilan untuk pembangunan Indonesia yang lebih baik dan mana politik identitas yang dijadikan komoditi dan suksesi semata.

Pak Polisi itu sempat terdiam sebentar, kemudian memberondong pertanyaan kepada Saya, "Lalu berapa lama? 10 Tahun? 20 Tahun? Nanti keburu Indonesia bubar!"

Saya cukup senang menjawab pertanyaan keraguan berdasarkan waktu ini, "Pak, Soekarno ya, itu 20 tahun Indonesia merdeka sempat ditawarkan jabatan oleh Belanda dan menyebut bahwa tidak mungkin Indonesia merdeka, waktu itupula Soekarno langsung menolak. Kenapa? Karena Soekarno punya keyakinan, punya visi, punya cara, dan punya kesabaran dalam keyakinan Indonesia merdeka, mempunyai kesabaran dalam melihat visi Indomesia merdeka, serta mempunyai kesabaran dalam menjalankan cara menuju Indonesia merdeka".

Angin semakin kencang di parkiran basement tempat obrolan saya itu, Saya mohon pamit kepada Pak Satpam itu karena hendak menjalankan tugas kembali.

Pemaron, 30 Juni 2017

0 komentar:

Posting Komentar