"Yen Sing Kasar, Sing Buleleng (Kone)"
Jika Anda orang Bali atau setidaknya mengerti Bahasa Bali, setidaknya Anda akan tersenyum tipis membaca kutipan diatas. Mengapa? Untuk Anda yang tidak bisa berbahasa Bali saya akan jelaskan sedikit tentang arti dari kutipan tersebut. Yen Sing Kasar, Sing Buleleng (Kone) jika diterjemahkan bebas memiliki arti "Jika tidak kasar, maka bukan (orang) Buleleng (Katanya)".
Bagi warga di kabupaten lainnya di Bali, jika membayangkan sosok orang Buleleng maka pertama kali yang terlintas di benak mereka adalah kosakata bahasa yang penuh dengan bahasa yang kasar, biasanya bahasa kasar yang menggunakan istilah kebun binatang. Selain itu bicara orang Buleleng cenderung apa adanya, apa yang dia pikirkan saat itu, saat itu juga keluar dari mulutnya. Tanpa tedeng aling aling menyampaikan apa yang dipikirkan.
Namun benarkah orang Buleleng itu kasar? Pertanyaan tersebut akan membawa kita pada pertanyaan lainnya yaitu, apa itu kasar?
Kasar bagi sebagian besar orang sering diterjemahkan sebagai suatu tindakan, misalnya memukul dan menendang. Kasar juga sering dipahami sebagai komunikasi verbal yang menggunakan kosakata yang tidak sopan cenderung memaki, misalnya dalam bahasa Indonesia kita akan mengenal pekikan "bangs*t" dan "anj*ng" (saya akan sensor pekikan itu agar terasa seperti benar - benar memaki).
Dalam kasus orang Buleleng, pemahaman kasar yang dimaksud adalah tentang komunikasi verbal dengan kosakata yang tidak sopan seperti yang saya coba jabarkan tadi.
Saya mencoba melihat dengan cara lain makna kasar dalam cara komunikasi orang Buleleng. Berdasarkan pengalaman pribadi, sebagai orang Buleleng saya masih saja dianggap berbahasa kasar. Padahal, bisa dibilang saya tidak pernah sekalipun menggunakan kosakata kasar bahkan ketika berbicara terhadap orang yang sama - sama dari Buleleng.
Kenapa demikian? Saya mencoba memahami fenomena tersebut. Satu hal yang ternyata membuat orang menilai cara bicara saya kasar adalah ketika disaat berbicara saya tidak pernah berbicara berputar- putar untuk semata - mata menciptakan kesan halus dan lembut.
Bahkan pernah dalam suatu obrolan dengan Ibu sahabat (seorang keturunan Ksatria yang bergelar Agung) yang saya sudah anggap Ibu sendiri seperti ini.
"Kira - kira lebih baik mana jika Ibu membeli mobil, pilih Ertiga atau Terios?"
Sederhana saya hanya menjawab,
"Terios saja Bu, keluarga Ibu kan besar - besar. Ibu tinggi besar, anak Ibu (sahabat saya) juga besar, begitupula adiknya dan Bapak"
Ibu sahabat saya sejenak terdiam dan tertawa, sembari mengatakan, "Kok bisa mengatakan seperti itu?"
Saya hanya bengong sendiri, bertanya dalam hati apa ada yang salah.
"Biasanya kalau Ibu tanya pendapat seperti itu kepada orang lain, orang selalu berbicara yang baik - baiknya saja" jelasnya sederhana.
Saya terdiam sejenak, apa saya tidak mengatakan yang baik? Bukankah ketika saya mengatakan mereka sebaiknya memilih Ertiga karena mereka kurus - kurus bukankah itu lebih kurang ajar?
Kembali kepada pemaknaan kasar orang Buleleng, bagi saya kasarnya orang Buleleng karena (sebagian besar) orang Buleleng tidak bisa berkata berputar - putar hanya untuk membuat kesan santun. Lebih suka to the point dan tidak neko - neko. Mungkin ini yang sebagian orang anggap sebagai kasar.
Perihal kosakata bahasa makian yang menyebut bermacam - macam nama binatang tersebut? Saya anggap itu sebagai wujud pengejawantahan dari tidak neko - neko itu saja. Kini yang menjadi terpenting adalah kita (orang Buleleng) tetap memelihara tidak neko - neko tersebut, bukan hanya memelihara kosakata yang penuh makian semata.
Selamat Ulang Tahun ke 411 Kota Singaraja, Jiwaku Bersamamu.
0 komentar:
Posting Komentar