Meski bukan pujangga, tapi karya sastra mistisme oriental semacam Kahlil Gibran sudah habis saya baca semasa SMA. Hingga sempat mencicipi karya erotik-surealis-politik Pablo Neruda, seorang Komunis yang sempat sebentar menjadi Senator di Chilli.
Maka tak ayal, dalam kosakata tuturpun tak luput dari aroma puitis sisa - sisa buku sastra yang telah dibaca, hingga beberapa orang seringkali menangkap puisi yang kian tanpa sengaja terucap.
Hingga pada suatu waktu, saya bertemu dengan seorang perempuan yang kini menjadi istri. Melihat riwayat puitik itulah seringkali dia menagih beberapa syair.
"Buatkanlah sebuah syair untukku", pinta istriku disuatu malam yang menahan kantuk.
"Kamu. Istriku.", ucapku menguap menghadap tembok.
Semalaman itu Istriku kesal bukan kepalang, dicacinya diriku karena dianggap lebih romantis kepada kisah masa lalu.
Kusadari rasa kesal yang tak kunjung reda. Pada malam berikutnya, aku jelaskan lebih lanjut apakah itu puisi 'Kamu. Istriku'.
"Puisi itu adalah satu waktu dimana kita dapat melewati rasa suka cita yang melayang di angkasa sekaligus kita merasakan kubangan air mata", jelasku dengan alur yang umum - khusus.
"Dan itulah : Kamu. Istriku. Ialah suka dan duka dalam satu waktu. Karena api yang panas memiliki separuh dingin. Karena cahaya yang terang memiliki separuh kegelapan. Karena kebahagiaan bersamamu memiliki separuh duka"
Kemudian aku kembali tertidur menghadap tembok. Bangun di pagi setelahnya dengan biasa. Sangat biasa.
0 komentar:
Posting Komentar