Setelah PDI Perjuangan menetapkan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan 'diadu' dalam Pilkada Serentak 2018 yakni Wayan Koster - Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (KBS - ACE). Obrolan mengenai politik menghangat di Bali, baik di dunia nyata baik baik di dunia media sosial.
Beragam isu dipakai membela Pasangan Calon idola dan menyerang Pasangan Calon lawan. Tetapi kita akan fokus pada salah satu isu yang paling menarik yaitu : Reklamasi Teluk Benoa. Oh ya, tulisan ini tidak akan masuk pada wilayah mendukung atau menolak reklamasi Teluk Benoa (mungkin akan dibuat tulisan yang terpisah). Tulisan ini bukan pula dibuat dalam kepentingan untuk memberi predikat kepada figur tertentu bahwa dia menjadi bagian yang menolak ataupun mendukung Reklamasi Teluk Benoa. Tulisan ini dimaksudkan adalah memberikan posisi yang 'layak' isu Reklamasi Teluk Benoa terhadap perhelatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali Tahun 2018. Paham?
Penolakan Reklamasi Teluk Benoa dan Pilkada Tahun 2013
Meski Tahun 2013 juga sebenarnya tahun pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali (Pilkada) tapi mengapa isu Reklamasi Teluk Benoa baru 'nikmat' dipergunakan menjadi isu pada Pilkada 2018? Jawabannya sederhana, yakni Pilkada 2013 diadakan pada tanggal 15 Mei 2013. Sedangkan penolakan Reklamasi Teluk Benoa 'meluas' pada Agustus 2013. Lebih tepatnya pada 23 Agustus 2013, ketika ForBALI melaporkan Gubernur Bali dan DPRD ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi atas keluarnya SK Reklamasi Teluk Benoa (Cek Kronologi Penolakan Reklamasi Teluk Benoa). Dengan kata lain isu Reklamasi Teluk Benoa di tahun 2013 'beruntung' belum dikait - kaitkan dengan hiruk pikuk Pilkada . Paham situasinya?
Perjalanan Penolakan Reklamasi Teluk Benoa Selama 2013 - 2017
Perjalanan Penolakan Reklamasi Teluk Benoa memang belum usai karena hasilnya juga masih belum jelas, apakah dilanjutkan ataupun dihentikan Reklamasi Teluk Benoa. Namun, selama tahun 2013 - 2017 penolakan Reklamasi Teluk Benoa mengalami proses yang panjang. Cukup panjang sampai para pemangku kebijakan baik Eksekutif dan Legislatif saling 'tunjuk hidung' tentang siapa yang harus bertanggungjawab dalam memberi jawaban apakah Reklamasi Teluk Benoa dilanjutkan atau dibatalkan.
Yang jelas, isu reklamasi ini akhirnya mengerucut ke beberapa figur politik yang memegang kekuasaan ataupun berada dibelakang layar kekuasaan. Muncul figur - figur yang secara langsung menolak Reklamasi Teluk Benoa, maupun beberapa figur lebih memilih menjawab dengan jawaban yang abu - abu, terkesan masih wait and see.
Penolakan Reklamasi Teluk Benoa dan Pilkada Tahun 2018
Menjelang tahun 2018, Penolakan Reklamasi Teluk Benoa dan Pilkada 2018 menjadi kehilangan batasannya masing - masing. Ada beberapa figur yang 'berjualan' Penolakan Reklamasi Teluk Benoa untuk meningkatkan popularitas (tindakan tersebut bagi saya tidak salah, dan sah). Serta ada juga beberapa figur yang memilih wait and see terhadap penolakan Reklamasi Teluk Benoa malah secara sederhana dituding mendukung Reklamasi Teluk Benoa (bagi saya hal ini juga lumrah).
Namun, menurut hemat saya yang harus dipegang teguh oleh pihak yang menolak Reklamasi Teluk Benoa adalah siapapun Gubernur dan Wakil Gubernur Bali hasil Pilkada 2018 harus dibebankan tugas untuk menghentikan Reklamasi Teluk Benoa. Dengan kata lain, apabila nanti muncul pihak - pihak yang memberi predikat kepada figur tertentu sebagai Pro atau Kontra Reklamasi Teluk Benoa. Maka itu adalah logika yang sesat, logika yang hanya menggiring suara penolakan Reklamasi Teluk Benoa ke kotak suara dalam Pilkada 2018.
Kelompok menolak Reklamasi Teluk Benoa jika hendak melakukan Kontrak Politik dengan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali harus melakukkannya dengan semua Pasangan Calon, supaya tidak merendahkan perjuangan panjang penolakan Rreklamasi Teluk Benoa hanya karena Pilkada 2018.
Pemaron,
16 November 2017
0 komentar:
Posting Komentar