Senin, 09 Januari 2017

Menjawab Manfaat Berjenggot (Bagi Saya)


Barangkali tulisan ini termasuk tulisan yang tidak terlalu penting - penting amat, tapi untuk beberapa pertanyaan yang telah terlontar maka akhirnya saya tulis saja beberapa manfaat berjenggot (sekaligus berkumis) yang menurut saya pribadi, dijamin tidak ada yang menulis artikel sejenis di tempat lain.

Pola menemukan jawaban dari apa manfaat dari berjenggot sebenarnya sedikit menggunakan alur yang terbalik, artinya jika suatu jawaban muncul sebelum dilakukan tindakan yang ditanyakan tersebut, maka dalam kasus berjenggot saya ini jawaban - jawaban itu saya mendapatkannya dari penemuan, kontemplasi, serta perenungan mendalam tentang berjenggot, yang keluarnya dalam bentuk ucapan kadang disertai tidak sadar. 

***

1. Berjenggot Karena Kebutuhan Sosial

Ini alasan pertama, yang saya gunakan diawal - awalan jenggot sudah mulai tumbuh. Seperti yang kita paham, kebanyakan dari masyarakat kita sukanya melihat 'bungkus' daripada 'isi', misalnya orang lebih menyukai melihat makanan yang kemasannya berwarna warni dan berpenampilan apik, meskipun rasanya tidak jelas dan cenderung merusak lambung.

Begitupula dengan tingkat penerimaan dalam masyarakat kita, masih banyak orang memandang layak atau tidaknya suatu pandangan dikait - kaitkan dengan penampilan, semisalnya jika penampilan kucel dan lusuh meskipun menyampaikan gagasan yang cemerlang tentunnya tidak akan begitu didengar, sebaliknya jika yang mengatakan hal tersebut berpakaian yang putih - putih sampai memenuhi rambut di kepala meskipun hal tersebut keliru pastinya masih dianggap kebenaran. Dalam perihal soal kemasan tersebutlah saya memelihara jenggot saya.

Acapkali dalam beberapa pertemuan dengan orang baru yang sebagian orang yang jauh lebih tua dari saya, jenggot saya senantiasa mencuri perhatian. Entah negatif atau positif intinya mencuri perhatian, dari situ sudah tertanam citra bahwa saya 'bukanlah orang biasa'. Nah, persepsi yang telah terbangun itulah yang sebenarnya menjadi landasan saya menyampaikan gagasan kepada orang tersebut, karena secara nirsadar, orang tersebut sudah menganggap saya tua dengan simbol berjenggot ini.

2. Berjenggot Sebagai Menutup Ketampanan, Namun Tetap Karismatik

Bagian ini mungkin agak berlebihan, bagi yang mengenal saya mungkin akan ngakak sejadi - jadinya. Tapi percayalah, fase ketika kita memiliki wajah yang tidak jelek (pada judul saya beri istilah 'Ketampanan') disertai dengan cara berpikir yang berbeda tentu akan memikat banyak minat dari lawan jenis (untuk sesama jenis saya tidak mau membahas ya), hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri. Karena dibalik semua kenyataan yang saya ungkap tadi, saya harus hidup belajar mencapai titik kebijaksanaan tertinggi, dan sebagai laki - laki salah satunya adalah pantang berbanyak - banyak main hati perempuan.

Namun, menutup ketampanan tidak semudah yang dibayangkan, meskipun sudah jarang mandi namun rasanya belum cukup, maka berjenggot menjadi solusi lain tanpa harus kehilangan karismatik diri. Cara ini dirasa cukup efektif, dengan gaya yang kadang berpakaian tidak jelas dan berjenggot tentu sebagian besar lawan jenis pasti enggan pada pandangan pertama, itu bagus bukan?

3. Berjenggot adalah Identitas

Di jaman yang penuh dengan rasa bosan ini, setiap manusia dituntut kembali pada identitas dirinya. Secara umum pemenang - pemenang jaman ini berasal dari kelompok masyarakat yang konsisten, baik konsisten dalam pikiran, konsisten dalam perkataan, serta konsisten dalam perbuatan. Termasuk berjenggot, karena cukup lama saya berjenggot (sekitar 2 tahun), maka identitas tersebut akan menempel pada diri saya.

Keuntungan berjenggot sebagai identitas adalah kemudahan dikenali. Misalnya jika ada yang bertanya, "Bapak siapa namanya tadi itu yang berjenggot?", atau jika ada yang menunjuk semisal, "Itu Bapak yang berjenggot itu". Dengan kemudahan identifikasi tersebut pun membuat saya harus berpikir ulang jika melakukan keburukan. Saya tidak ingin muncul ucapan, "Hey, itu Bapak yang berjenggot itu belum bayar nasi babi guling!". Tidak enak didengar bukan? Sungguh.

4. Berjenggot Sebagai Dekonstruksi Gagasan

Apa itu dekonstruksi? Dekonstruksi adalah pembongkaran persepsi. Dalam hal gagasan, dekonstruksi dimaksudkan untuk meruntuhkan nilai yang telah terbentuk sebelumnya. Situasi Dekonstruksi tersebut membuka langkah berikutnya untuk membangun nilai ulang (rekonstruksi) diatas puing runtuhan nilai yang lama. Bingung? Saya juga bingung. Tapi mari kita perhatikan kisah nyata dari percakapan dibawah ini sebagai contoh Berjenggot sebagai dekonstruksi gagasan.

Kisah nyata :

Disuatu siang, saya di suatu Polres melakukan pencabutan alat pemancar sinyal internet. Harusnya biasa saja, tidak perlu pemeriksaan yang macam - macam karena memang surat jalan sudah ditangan. Namun oleh Kasi Tipol yang telah melihat jenggot saya sepertinya berpikir lain. Saya diminti KTP dan KTP saya di scan, padahal teman saya tidak.

"Bapak tahu, situasi belakangan ini agak sensitif, maksudnya Jenggot Bapak itu mirip ISIS, teroris yang sedang tren", ucap Polisi sembari menyerahkan KTP saya yang sudah di Scan.

Dengan spontan pun saya menjawab, "Bapak pun tahu, Sulinggih pun berjenggot, kenapa mereka tidak disebut teroris?"

Bapak Pol terlihat terkejut dengan jawaban saya. perlu sekitar 3 detik Bapak Pol tertegun, kemudian tertawa sambil menepuk pundak saya.

Saya yakin Bapak Pol itu tidak punya jawaban.

Apakah hal yang kita bisa petik dari percapan diatas? Bahwa jenggot saya berhasil memancing keluar gagasan bahwa semua berjenggot itu adalah teroris. Dan gagasan itu saya rubuhkan dengan menyepadankan jenggot Sulinggih (Pemuka agama tertinggi dalam Agama Hindu). Akhirnya terbangun suatu gagasan bahwa, berjenggot tidak selalu dikait - kaitkan dengan teroris.

Mulai paham? Jika masih bingung maka lambaikan tangan.

5. Berjenggot Untuk Meningkatkan Jiwa Kebijaksanaan

Ini adalah jawaban dari manfaat berjenggot yang paling luhur menurut saya. Setelah berjenggot saya merasakan beberapa hal, emosi jiwa yang meletup - letup bak merapi yang hendak menyemburkan laharnya. Mungkin secara spiritual jenggot saya seperti antena yang lebih sensitif menangkap gelombang spiritual lainnya makanya emosi saya lebih labil, namun ketimbang saya memberi alasan yang tidak logis seperti spiritual, maka barangkali alasan labilnya saya punya emosi adalah karena gatal dengan jenggot yang bertumbuh, seperti yang kita ketahui jenggot itu minta ampun gatalnya kalau sedang tumbuh - tumbuhnya, kalau sudah panjang biasanya hilang.

Selain itu, berjenggot juga akan mendapat stigma 'tua', meskipun dasarnya baby face tapi dengan berjenggot, dasar itu tertutupi sudah. Mau tidak mau, suka tidak suka, niat tidak niat saya yang sudah muncul kepermukaan dengan jenggot akan tersudut dengan stigma tersebut, dalam beberapa kondisi teknis, stigma tersebut mengharuskan kita menjadi pihak yang pengayom, berpikir luas dan bijaksana. Nah, keharusan itulah perlahan - lahan membiasakan diri saya untuk selalu bersikap 'tua' seperti yang saya jelaskan sebelumnya itu.

Dari pengalaman itulah pada akhirnya saya paham, mengapa kaum cerdik pandai dahulu berjenggot. Barangkali alasannya sama, "Jenggot menghantarkan mereka pada pencerahan batin".

***
Percaya atau tidak, itulah jawaban saya atas pertanyaan kenapa memelihara jenggot, saya tidak pula menyarankan para pembaca memelihara jenggot setelah ini, terutama kepada pembaca perempuan.

Kalianget,
9 Januari 2017

0 komentar:

Posting Komentar