Sering kali saya terlibat dalam obrolan yang memberi nilai apakah Go-Jek memiliki manfaat positif bagi masyarakat atau justru Go-Jek akan tumbuh sebagai predator ekonomi terutama dalam hal per-ojek-an. Namun saya tidak ingin terjebak pada kedua kutub pemikiran itu, saya lebih suka melihat dengan cara yang fenomena yang terjadi pasca kehadiran Go-Jek. Terlebih - lebih sejak tarik ulur pemerintah yang melarang kehadiran Ojek Online kemudian tiba - tiba malah mencabut kembali larangan Ojek Online.
Tamparan Pertama : Kurangnya Lapangan Pekerjaan di Indonesia
Go-Jek yang juga merupakan Ojek berbasis aplikasi online pertama tentu saja menjadi sasaran empuk para pencari kerja. Apalagi cara kerjanya menjadi seorang pengemudi Go-Jek tidak sulit. Pengemudi Go-Jek bisa mengambil orderan Go-Jek kapanpun yang dia mau. Dan tanpa harus memiliki kemampuan navigasi yang memadai pun bisa menjadi menjadi pengemudi Go-Jek karena dalam aplikasi tersebut sudah terdapat peta. Maka tidak heran, asal memiliki kendaraan roda dua yang memadai, pasti setiap orang tergiur menjadi Go-Jek, bahkan tidak jarang orang sengaja mengajukan kredit motor ketika untuk menjalankan pekerjaan sebagai pengemudi Go-Jek.
Ditengah kondisi lapangan pekerjaan yang minim inilah lahir fenomena masyarakat berbondong - bondong menjadi pengemudi Go-Jek, tercatat sekitar 12.000 Driver Go-Jek, bahkan Humas PT. Gojek Indonesia, Aji mengklaim perhari jumlah Pengemudi Go-Jek bertambah 200 Orang (Baca disini).
Tamparan Kedua : Kurangnya Transportasi Publik yang Memadai
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, memang tidak menyebut kendaraan roda dua sebagai kendaraan yang dapat dijadikan sebagai Angkutan Jalan. Hal inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Menteri Jonan melakukan pelarangan beredarnya Ojek berbasis aplikasi di Indonesia.
Meskipun akhirnya pelarangan ini diralat kembali oleh Menteri Jonan setelah Presiden Jokowi memberikan instruksi untuk mencabut larangan beredarnya Ojek berbasis aplikasi. Menteri Jonan pun mengakui, kehadiran Ojek terutama berbasis aplikasi merupakan tanda betapa buruknya sistem transportasi publik milik Indonesia, pengakuan tersebut ditegaskan dengan pernyataan, "Kalau ini (ojek) mau dianggap solusi sementara, silakan saja. Sampai transportasi publik baik", saat ditemui di Gedung Kemenhub, Jalan Merdeka Barat, Jumat 18 Agustus 2015.
Tamparan Ketiga : Lemahnya Kemampuan Kompetisi dalam Persaingan Kerja
Nah, fenomena ini sebenarnya tidak banyak orang yang melihat. Masih ingat dengan tindak kekerasan yang dilakukan Pengemudi Ojek tradisional terhadap Ojek Online? Jika kita mengacu pada teori kekerasan Dom Helder Camara, jika kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam meghadapi persoalan kehidupan merupakan kemunduran dalam kecerdasan. Karena masyarakat tidak mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan dengan dengan kecerdasannya.
Apa yang dimaksud oleh Dom Camara bila dibenturkan dengan fenomena tindak kekerasan oleh Pengemudi Ojek Tradisional terhadap Pengemudi Ojek Online bisa dipahami sebagai "kemunduran". Namun bisa dipahami, dengan tingkat pendidikan yang lemah, terlebih dengan sistem pendidikan kita yang maju - mundur, maju - mundur. Tentunya Pengemudi Ojek Tradisional tidak mampu berkompetisi dalam persaingan melawan Pengemudi Ojek Online yang lebih canggih.
Nah, ketimpangan persaingan kerja dikarenakan kemampuan kompetisi tersebut baru diantara masyarakat Indonesia sendiri, yakni diantara Pengemudi Ojek. Bayangkan jika dengan orang dari negara lain yang secara taraf pendidikan mereka lebih maju dan bersaing? Yang saya bisa gambarkan kompetisi tersebut tentu akan sangat timpang. Anggaplah saya berlebihan memberikan contoh, ketimpangan kemampuan tersebut seperti kita adalah Pengemudi Ojek Tradisional yang hanya mengandalkan panggilan di bawah pohon dengan para pekerja yang berasal dari luar negeri seperti Pengemudi Ojek berbasis Aplikasi yang menggunakan telepon cerdas, yang terhubung langsung dengan koneksi Internet. Betapa jauhnya kita tertinggal.
Harus Ikhlas Menerima Tamparan
Istilah "tamparan", sebenarnya merupakan kritik pedas. Ditengah - tengah ribut - ribut politik di televisi, Go-Jek hadir menunjukkan kepada kita realita Indonesia yang pahit, yang tidak terekam oleh televisi manapun. Meski "nakal", namun Go-Jek yang merupakan karya anak bangsa ini terus melaju siap menghadapi tekanan dari pihak manapun termasuk dari pemerintah.
Lalu? Pemerintah dan masyarakat harus ekstra bahu - membahu dalam menjawab ketiga tamparan diatas, Fokus pada solusi terhadap persoalan yang mendasar, bukan melakukan melodrama politik di layar televisi.
Renon,
19 Desember 2015
Renon,
19 Desember 2015
inilah hidup...
BalasHapusyg mampu bertahan adalah orang" yang mampu menciptakan, melihat, dan mengerjakan setiap peluang pekerjaan...saat dilihat ojek lokal sudah jarang konsumen jasa yang ada karena faktor melesatnya penjualan berbagai macam kendaraan karena mungkin mudah didapat karena bisa di cicil dan peluang itu dilihat oleh publisher Go-Jek dan membuat suatu peluang pekerjaan yg notabene produsen dan konsumen jasa go-jek menjadi lebih gampang berinteraksi karena tidak perlu nunggu dipinggir jalan sama saat seperti kita SD dulu untuk menunggu ojek dan tukang ojeknybtidak perlu mondar mandir untuk mendapatkan 1 penumpang...dan juga berinovasi jual jasa menganantar barang ....
ini adalah ide kreatif yg harus nya pemerintah meniru karena hal tg seperti ini yg menciptakan keseimbangan kepuasan antara produsen dan konsumen jasa.... mungkin kata orang tua tentang kitaa tidak usah mengikuti jaman itu ada benar ny....tp tidak salahny kitaa selalu berbjalan lurus dengan jaman agar sellu bisa berinovasi dan selalu menciptakan sesuatu yang baru , terutama dalam penciptaan lapangan kerjaa