Jumat, 27 November 2015

Ayo Membahas SARA!


SARA Telah Menjadi Paham Phobi-Perbedaan
Mengapa saya katakan seperti itu? Dari sekian saya membaca literatur dari era pra kemerdekaan, era Sukarno, era Suharto hingga era Reformasi. Istilah SARA sendiri umum digunakan untuk menyebut suatu tindakan yang membentur - benturkan perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Kalau saya tidak keliru, mohon dikoreksi jika salah. Istilah SARA sendiri sering digunakan di era akhir Suharto.

Boleh dicek, kini dalam masyarakat kita sampai ada pembicaraan yang kurang lebih begini: "Eh, Jangan ngomongin SARA! Nanti ribut!". Beberapa Grup baik di media sosial maupun dunia nyata dalam aturan berdiskusi selalu mencantumkan aturan "NO SARA!" Setakut itu kah kita sekarang dengan perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan? Bukankah phobia semacam ini menjadi sasaran empuk untuk memecahbelah bangsa kita yang sedari dulu memang penuh perbedaan?

Kita Harus Membahas SARA!
Saya akan ajak semua pembaca kembali pada era pembentukan Indonesia modern pada 17 Agustus 1945. Saya masih ingat, jika ketika para pendiri bangsa mendirikan Bangsa Indonesia ini. mereka justru membicarakan SARA! Beberapa pidato Sukarno pun acapkali terasa betul aroma SARA nya. SARA yang saya maksud tersebut adalah perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan justru Sukarno dengan lantang teriakkan di atas podium! Sukarno menegaskan jika bangsa ini begitu banyak perbedaan Suku, Agama, Ras dan Golongan, tapi kenapa harus bersatu? Satu - satunya alasan Sukarno bisa dibaca dalam Pidato 1 Juni 1945 ketika Pancasila digali sebagai dasar Negara Indonesia.

Dengan sederhana Sukarno menyebut, dalam perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan itulah masyarakat Indonesia memiliki satu ciri yang khas! Yakni Gotong Royong. Gotong Royong yang dijabarkan menjadi rasa kemanusiaan antar sesama, rasa bersatu padu, berpendapat secara kolektif demi menuju tujuan bersama, keinginan untuk mensejahterakan satu sama lain, dan kesemua penjabaran terhadap makna Gotong Royong tersebut selalu didasari atas penyerahan diri terhadap ke-Esa-an Tuhan. Ciri khas inilah yang kemudian Sukarno gali dan kini berwujud Lambang Negara Indonesia yakni Pancasila. Bukankah, Sukarno juga sebenarnya SARA?

Membangun Kembali Sudut Pandang Tentang SARA
Kembali keawal, saya melihat ribut - ribut soal SARA sesungguhnya diawali dari tidak ada ruang untuk berbagi perbedaan tersebut, karena cara pandang yang keliru tentang SARA membuat kita berpikiran sempit, dan cenderung enggan berbagi bersama Suku lain, Agama Lain, Ras Lain, dan Golongan lain. Efeknya kita jadi gampang tersulut oleh pihak - pihak yang tidak bertanggung jawab.

Marilah kita membahas SARA dalam konteks Indonesia, niscaya konflik antar masyarakat akan perlahan berkurang bahkan bisa hilang sama sekali, menyatu kedalam Indonesia kembali.

Renon, 27 November 2015

0 komentar:

Posting Komentar