Jumat, 11 September 2015

Ketika Orang Buleleng "Meboye" di Kertagosa Klungkung


Dibanding kabupaten lain, Klungkung termasuk daerah yang jarang saya kunjungi secara khusus. Biasanya cuma lewat karena ada tujuan ke Karangasem atau hanya ke Nusa Penida yang secara khas saya tidak memberi kesan terhadap Kabupaten Klungkung. Padahal, berdasar pada sejarah dalam buku. Klungkung konon adalah daerah yang maju, bahkan sebelum kerajaan lainnya di daerah Bali.

Memenuhi rasa penasaran itulah, saya memulai secara khusus mengunjungi Klungkung dengan tujuan awal Kertagosa. Siang itu masih panas, perbaikan di perempatan Kertagosa membuat saya memutar kendaraan untuk mencapai pintu masuk. Karena awam, saya parkir saja di pasar. Tepat didepan sebuah Bank Perkreditan.

Melihat banyak sekali wisatawan mancanegara yang berkumpul di pintu masuk, saya berharap - harap cemas dengan harga masuk museum yang selangit. Maklum, cara berpikir pariwisata kita kadang lucu. Harga yang dibayarkan untuk mengunjungi suatu tempat wisata kadang diluar akal ekonomi sekarang, terlalu mahal. Namun senyum saya mengembang, setelah melihat tiket masuk hanya 12.000 rupiah untuk orang dewasa.

Saya bercakap - cakap dengan petugas tiket menggunakan Bahasa Bali dengan aksen Buleleng yang kental, ceplas - ceplos dan tidak menggunakan bahasa yang halus. Kira - kira begini percakapannya.

Saya (S): "Kude Bli?"(Berapa Bli?)

Petugas Tiket (PT) : "24.000 berdua"

(S) : "Aget sedeng pise" (Untung pas bawa uangnya)

(PT) : "Dari mana ya asalnya"

(S) : "Uli Buleleng, Bli" (Dari Buleleng, Bli)

(PT) : Mih, Joh ne" (Wah, jauh ya)

(S) : "Ah, anake uli Belande gen mai. Masa uli Buleleng orahange joh" (Ah, orang Belanda saja kesini, masa Buleleng dibilang jauh)

(PT) : "Oh saje, cocok nto" (oh iya ya, cocok itu)

Kami tertawa bersama. Saya tertawa agak "meboye" sedikit keras berharap orang sekitar yang mendengar percakapan kami.

Kebudayaan Milik Kita, Orang Lain yang Pelajari
Saya sebenarnya sedih dibalik tertawaan siang itu. "Pertanyaan" tentang asal darimana dan menyebut Buleleng lebih jauh dari Belanda membuat saya berpikir. Betapa cara berpikir kita tentang kepedulian kebudayaan sangatlah kurang. Okelah, janganlah sebut kebudayaan jika terasa terlalu berat diucap. Sebut saja mempelajari sejarah sendiri.

Saya banyak mendengar, ada orang asing yang sangat fasih berbahasa Bali bahkan dalam tingkat yang paling halus sekalipun, sementara disisi lain saya melihat orang tua dan anak - anak Bali malah cenderung mengenalkan bahasa Indonesia sedari kecil, bahkan yang lebih ekstrim adalah mengenalkan dengan bahasa Inggris!

Pernah juga saya mendengar kita kagum sekali dengan orang - orang asing yang memainkan alat musik tradisional kita, bahkan ada penari yang menarikan tarian Bali -nya sendiri dari adalah orang asing, tetapi kebanggan itu adalah semu karena tidak berujung pada pelestarian alat musik tradisional beserta tariannya oleh si pemiliknya : orang Bali.

Mulai Dari Museum!
Pernah saya ke Museum Buleleng, sebagai orang Buleleng rasanya konyol jika kita tidak mengetahui sejarah daerah sendiri. Namun, yang selalu menjadi penarik perhatian saya dalam sebuah museum (terutama di Bali) adalah daftar nama pengunjung.

Saya kaget, kenapa berderet nama - nama Asing dalam daftar nama itu? Sejenak saya melihat petugas yang sedang duduk - duduk di pintu masuk Museum, mereka seolah menunggu pengunjung yang datang. Mengapa mereka harus menunggu pengunjung yang datang? Tidakkah mereka memiliki sedikit kecerdasan sisa perkuliahan untuk melakukan inisiatif? Bisa saja dengan kekuasaan ditangan, pemerintah harusnya memperbaiki Museum daerahnya menjadi lebih baik, menjadi lebih memiliki "pesan" untuk generasi berikutnya, agar senantiasa mencintai daerahnya sendiri.

Serta pengunjungnya? Tidak usah ditunggu. "Paksa" saja, setiap minggu wajib ada kunjungan dari tiap kelas dari semua sekolah dasar yang ada. Buat anak - anak sekolah dasar itu silau, kagum akan kebesaran dari daerahanya sendiri. Meskipun perlahan, namun saya yakin kelak mereka akan tumbuh menjadi manusia yang berdedikasi dalam membangun daerahnya sendiri, menjauhkan dari kebodohan dan kemiskinan.

Soal kendaraanya? Uang transportnya? Ah, semiskin - miskinnya suatu daerah apalagi daerah seperti Kabupaten Buleleng dan Kabupaten lainnya di Bali, masa tidak bisa membeli suatu bus/minibus yang bekas saja. cukup untuk satu kelas saja. Bus itulah yang dipakai untuk antar jemput anak sekolah dasar dalam mengunjungi museum daerahnya sendiri.

Investasi Panjang Kemakmuran Suatu Peradaban
Jika dijalankan secara konsisten, pokok - pokok indoktrinasi kecintaan daerah pada generasi kecil kita, saya yakin jika 30 - 40 Tahun lagi, kita memiliki generasi yang siap membangun daerah dengan dedikasi hidupnya. Lama? Iya memang, investasi peradaban tidak seperti investasi pembangunan Hotel dan Villa yang secara cepat menghasilkan uang. Pembangunan peradaban yang maju memang memerlukan lebih lama karena kita membangun manusianya, bukan gedung dan bangunannya. Tetapi, dengan peradaban yang maju, setiap manusia yang hidup didaerah itu dapat merasakan kemakmuran bersama. Sebuah cita - cita yang sebenarnya kita ingin capai berasama.

Saya masih optimis, akan datang pemimpin yang tidak hanya akan berpikir 5 -10 Tahun untuk melanggengkan kekuasaan saja. Namun berpikir 30 - 40 Tahun, bahkan berpikir 50 Tahun! Untuk melanggengkan peradaban manusianya sendiri.

Semoga!

Sidakarya, 11 September 2015

0 komentar:

Posting Komentar