Persoalan Masa Orientasi Sekolah (MOS) di Sekolah Menengah Atas (SMA) memang menjadi kontroversi. Jika terlalu 'keras' para orang tua siswa akan mengklaim jika MOS hanyalah perploncoan dan ajang balas dendam. Sebaliknya, jika terlalu 'lembut' hanya dengan seminar yang membosankan maka mental siswa baru tidak akan terbentuk. Masih sendiri - sendiri ego SMP nya.
MOS Sebagai Dekonstruksi
Apakah itu dekonstruksi? Secara umum dekonstruksi adalah fase meruntuhkan. Meruntuhkan apa? Jika konteksnya adalah MOS di SMA, maka yang diruntuhkan adalah identitas lama di masa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Cara berpikir setiap SMP dalam mendidik siswanya pastinya akan berbeda. Sebut saja, cara berpikir SMP yang di Kota dengan segala kemudahan fasilitas tidak akan sama dengan cara berpikir siswa SMP di Desa dengan segala kekurangannya. Belum lagi dengan fanatisme yang dibangun selama berkompetisi semasa SMP. Mungkin kita akan sering mendengar yel yel dalam beberapa kompetisi seperti "SMP 'X' lebih baik Yes!" atau "SMP 'Y' paling Oke!". Akhirnya wajar, fanatisme SMP terbentuk dengan kuat.
Nah, fanatisme identitas SMP inilah yang hendak di dekonstruksi pada MOS SMA.
MOS Sebagai Rekonstruksi
Setelah runtuh dan menjadi 'nol', lalu masuk kepada fase MOS sebagai rekonstruksi. Apakah rekonstruksi itu? Rekonstruksi berarti membangun kembali. Membangun kembali identitas siswa baru di SMA dengan cara berpikir tiap - tiap SMA. Membangun fanatisme SMA pada siswa baru.
Proses rekonstruksi ini sebenarnya menjadi fase yang paling vital. Jika sebelumnya dalam proses dekonstruksi itu dapat dilakukan dengan mudah karena hanya 'meruntuhkan'. Proses rekonstruksi menjadi paling vital karena dalam proses inilah dibangun nilai - nilai yang diinginkan dalam identitas baru yang akan diadopsi pada siswa baru tersebut.
Saya secara pribadi yakin, dalam sekolah yang memiliki izin resmi dari pemerintah pastinya akan hendak memberi rekonstruksi yang positif dan linier dengan ideologi bangsa kita.
Prinsip Dasar Rekonstruksi Identitas ala Indonesia
Namun dalam keyakinan pribadi saya tersebut, terdapat prinsip dasar yang rekonstruksi Identitas yang seringkali dilupakan oleh Sekolah dan Panitia MOS.
Mengapa saya menambah 'ala Indonesia' dalam sub judul diatas? Sebaiknya saya sedikit menjelaskan sedikit tentang karakter Manusia Indonesia. Karakter Manusia Indonesia secara ringkas adalah manusia yang sangat mempertimbangkan sejarah.
Sejarah? benar, faktanya adalah manusia adalah manusia yang sangat mempertimbangkan sejarah pada setiap bagian kehidupannya. Salah satu penanda hal tersebut dari bagaimana manusia Indonesia selalu mengenang dan menjadikan teladan kisah pada masa lalu, salah satu perwujudannya adalah dengan selalu memberi penghargaan terhadap leluhurnya dengan mengenang dan meneladani. Entah agama apapun, ras apapun dan golongan manapun, dalam setiap ibadah ataupun kegiatan rohani sedikitnya pasti ada bagian dari ritual yang menyebut leluhur dalam bahasa apapun.
Ini berarti manusia Indonesia memiliki karakter yang selalu memerlukan teladan. Ingat kata kuncinya adalah 'teladan', sebelum kita membahas prinsip dasar rekonstruksi lebih lanjut. Jika ada yang ingin mendiskusikan lagi bagian karakter manusia Indonesia bisa pada tulisan yang lain.
Kembali pada prinsip dasar rekonstruksi, masih ingat dengan kata kunci 'teladan'? Ya benar, proses rekonstruksi dalam MOS juga demikian, harus mampu memberi teladan kepada siswa baru. Sehingga nilai yang dibangun bukanlah nilai tentang balas dendam namun nilai tentang memberi teladan yang baik kepada adik yang lebih kecil. Misalnya yang paling sederhana, jika panitia MOS meminta siswa baru untuk menggunakan sepatu hitam polos, panitia MOS harus terlebih dahulu memberi contoh tentang menggunakan sepatu polos. Jika panitia MOS meminta untuk push up kepada siswa baru maka panitia MOS harus memberi contoh terlebih dahulu bagaimana caranya push up yang baik dan benar dan seterusnya.
Dengan demikian, proses rekonstruksi akan berjalan mulus. Karena siswa baru telah memiliki teladan yang baik dalam memasuki lingkungan baru di SMA. Dipastikan, siswa baru tidak akan menjadi 'lembek' karena seminar yang membosankan. Tidak juga siswa baru menjadi objek balas dendam yang penuh dengan pembodohan.
Sidakarya, 28 Juli 2015
0 komentar:
Posting Komentar