Angeline, gadis manis yang dilaporkan menghilang memang menjadi topik yang hangat di Bali. Linimasa Media Sosial sekaliber Facebook pun penuh dengan perbincangan yang menyangkut anak perempuan yang kisahnya membuat banyak orang bergetar menahan geram. Terlebih lagi, akhirnya Angeline ditemukan sudah tidak bernyawa dengan cara yang tidak wajar (Baca : Duh, Angeline Ditemukan di Rumahnya Sudah Jadi Mayat).
Namun jika coba diperhatikan perbincangan dalam dunia Facebook kita akan menemukan sekelumit sisi lain yang membuat saya cukup merasa miris setelah kematian Angelina.
Foto Otopsi Bocor ke Publik
Dalam dunia digital yang tidak mengenal batas, informasi mengalir bak air sungai di musim hujan, deras dan tidak terkendali. Namun sayangnya, bangunan etika dalam dunia digital tidak cukup kuat menghadapi derasnya banjir informasi tersebut.
Saya selalu menyayangkan, jika karya foto yang tidak layak di konsumsi masyarakat tersebar dengan begitu mudahnya. Tanpa memperhatikan dampak psikologis yang diakibatkan kepada keluarga dan kerabat korban, para akun yang menyebarkan foto otopsi Angelina seakan menjadi pahlawan, pemuas nafsu penasaran teman lainnya di media sosial.
Separah itukah nurani kita terhadap korban (baca : Angeline), keluarga dan kerabat korban?
Ketika Kemanusian Memiliki Batas Identitas
Sampai hari ini saya percaya jika Tuhan menghadirkan kita dalam wujud yang berbeda - beda memiliki alasan yaitu untuk kita saling menyempurnakan, termasuk perihal kemanusiaan. Saya hanya geram dan tidak ingin berkomentar jika ada yang menanyakan dan menggugat hubungan kasus Angeline dengan mengaitkan identitas korban dan pelaku.
Apakah Angeline orang Bali? Apakah Pelaku adalah orang Bali? Apakah Ibu angkat dan Ibu Kandung orang Bali? Ingin sekali saya bertanya kembali, lalu kalau bukan orang Bali kenapa? Apa selain orang Bali juga bukan manusia? Lalu apakah pelakunya kita benci karena bukan orang Bali? Sesempit itukah cara pandang terhadap kemanusiaan kita sekarang?
Apakah Angeline orang Bali? Apakah Pelaku adalah orang Bali? Apakah Ibu angkat dan Ibu Kandung orang Bali? Ingin sekali saya bertanya kembali, lalu kalau bukan orang Bali kenapa? Apa selain orang Bali juga bukan manusia? Lalu apakah pelakunya kita benci karena bukan orang Bali? Sesempit itukah cara pandang terhadap kemanusiaan kita sekarang?
Ini ironi pahit yang harus kita telan sekarang.
Sidakarya, 11 Juni 2015
0 komentar:
Posting Komentar