Jumat, 22 Mei 2015

Seorang Pemimpin Harus Memiliki Dua Hati

Seorang Pemimpin Harus Memiliki Dua Hati

Dari judulnya saja pasti banyak orang akan mengajukan protes kepada saya, terutama para perempuan. Barangkali saya akan di cap sebagai orang yang sepakat dengan pemimpin yang punya banyak istri.

Sisanya saya akan di cap sebagai orang yang sepakat dengan pemimpin yang tidak konsisten, kesana - kemari dan tidak tegas. Namun saya maklum, jika saya tidak menjelaskan maksud dari pemahaman saya tentang seorang pemimpin harus memiliki dua hati.

Kalau tidak salah ingat, sempat saya membaca tulisan seorang pujangga bernama Kahlil Gibran, katanya seorang pemimpin harus memiliki dua hati, satu hati untuk tegar dan satu hatinya lain untuk menangis. Mengapa demikian? Menurut penafsiran saya seorang pemimpin itu tidak boleh menunjukkan sisi emosionalnya kepada bawahannya. Entah itu bahagia, entah itu sedih, entah itu marah ataupun entah itu curiga. Sepintas memang terkesan tidak manusiawi. Namun saya sepakat tentang pendapat itu.

Bagi saya, pemimpin itu adalah puncak. Tempat mengadu bawahannya jika mengalami kesusahan, barangkali semua pemimpin harus siap menjadi tong sampah curhatan bawahannya. Tidak boleh mengeluh.

Seorang pemimpin harusnya memelihara harapan betapapun tidak mungkinnya situasi yang dihadapi kelompoknya. Bahkan jika harus berbohong sekalipun, harapan harus tetap dinyalakan karena tanpa harapan sedikitpun manusia tidak akan bisa hidup.

Ada sebuah puisi dari Bung Karno yang kembali membuat saya teringat dengan pendapat Kahlil Gibran tersebut. Ditengah hingar bingar puja puji rakyat dan dunia kepadanya. Ternyata Bung Karno memiliki sisi yang sangat rapuh. Hanya saja tidak dia tunjukkan kepada rakyatnya ketika itu.

Saya hanya tidak bisa membayangkan. Ditengah dia harus menjaga nyala api semangat rakyatnya untuk berjuang melawan setiap penjajahan, terkadang dia menahan sisi 'manusiawi'-nya rapat - rapat dalam sebuah puisi. Ya sebuah puisi.

Sidakarya, 22 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar