Kasus yang menimpa Manohara Odelia Pinot, mencuat ke publik setelah kisah cintanya dengan Putra Mahkota Kelantan Malaysia, Tengku Temenggong Muhammad Fakhri Petra, berjalan kurang mulus. Berdasarkan pengakuannya, Mano sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sepenggal kisah Mano tersebutpun kemudian membuat banyak pihak gregetan dan terusik sentimen nasionalismenya
Pada waktu yang hampir bersamaan, kisah lain tentang dua Negara serumpun ini kembali menyulut sentimen nasionalisme bangsa Indonesia. harga diri bangsa Indonesia kembali seakan tidak memiliki posisi tawar. Berkali-kali kapal angkatan laut Malaysia memasuki teritori kedaulatan Indonesia tanpa ijin. Kasus itu dipicu ketika Malaysia melakukan provokasi atas wilayah perairan Indonesia di utara Kalimantan Timur itu dengan mengirim kapal-kapal perangnya melewati perairan Indonesia di Blok Ambalat. Hal ini lebih terlihat sebuah taktik yang diciptakan Malaysia menuntut kita (indonesia) untuk secepat mungkin membicarakan masalah Ambalat dengan mereka.
Sekedar informasi, berdasarkan catatan dari wikipedia.com, sengketa awal tentang blok Ambalat ini muncul setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak akhirnya sepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo), sehingga pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penanda tanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia- Malaysia. Kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969.
Tak lama berselang, masih pada tahun 1969, Malaysia membuat peta baru yang memasukkan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca). Hal ini tentu saja membingungkan, sehingga Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian, pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditandatangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi, kembali pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan serta-merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan dan secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukkan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya, yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10′ arah utara melewati pulau Sebatik. Nasib peta ini pun sama dengan terbitan Malaysia pada tahun 1969, yaitu diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia karena berkali-kali pihak Malaysia membuat sendiri peta sendiri, padahal sudah ada perjanjian Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Aksi-aksi sepihak dari Malaysia ini dipahami sebagai perbuatan yang secara terus menerus dari ingin melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia.
Terangkatnya kasus Ambalat kepermukaan kemudian ikut melengkapi sentimen nasionalisme yang selama ini kerap kali terusik oleh arogansi negeri Jiran itu, contoh lain arogansi mereka adalah kasus direbutnya kebudayaan batik Indonesia lagu “Rasa Sayange” dan berbagai seni lainnya yang diklaim sebagai bagian dari karya mereka. Betapa terusiknya kita sebagai bangsa yang bermartabat.
Meski demikian, hendaknya sebagai bangsa yang beradab dan bijak kita jangan sampai terlena dan berlarut-larut dalam gendang perangkap yang ditabuhkan pihak Malaysia. Terutama para pemuda bangsa, berpikir kritis dan tetap berlandaskan dengan pembukaan alenia IV UUD 1945 (tujuan nasional Indonesia) adalah harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Kasus lepasnya Sipadan dan Ligitan juga bisa dijadikan kaca tambahan untuk introspeksi, betapa kedaulatan bangsa yang harusnya sudah merupakan representasi harga diri rakyat Indonesia begitu mudahnya dipermainkan orang. Kini, sudah saatnya bangsa kita membangun kesadaran kolektif untuk mengarahkan Indonesia menjadi sebuah negeri besar yang benar-benar merdeka, berdaulat, dan bermartabat!!
Rabu, 24 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar