Belakangan ini ketika kita mendengar tentang pemimpin yang mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah melalui jalur independen pastinya akan terbayang dengan Basuki Tjahaja Purnama yakni Ahok. Ya, kali ini saya sedang membahas fenomena jalur independen yang terjadi pada DKI Jakarta yang khususnya pada diri Ahok.
Jika kita urut, kemunculan ide tentang Kepala Daerah melalui jalur independen berasal dari cara pandang yang menilai jika sumber dari penyakit bangsa kita adalah Partai. Wajar saja logika ini muncul, setiap Kepala Daerah maupun Anggota Dewan Perwakilan Rakyat tingkat Kabupaten hingga Republik harus melalui 'kendaraan' yang disebut Partai. Namun benarkah demikian?
Tentang Partai
jika kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Partai dapat di definisikan sebagai berikut :
1. "Perkumpulan (segolongan orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang politik)"
2. "Penggolongan pemain dalam bulu tangkis dan sebagainya"
3. "Kumpulan barang dagangan yang tidak tentu banyaknya"
Dari definisi sederhana itu saja kita bisa memahami, jika 'Partai' hanya kata lain dari 'perkumpulan', hanya saja perkumpulan yang disatukan oleh kesamaan azas. Jadi "Partai" tidak melulu soal Golkar, PDI dan lain lainnya itu. Bisa saja beberapa ojek yang nongkrong di pasar disebut Partai, karena mereka berkumpul untuk azas yang sama yakni meraup rejeki dengan menjadi ojek.
Kisah Ahok
Nah, dari kejenuhan demi kejenuhan rakyat tidak menemukan sosok pemimpin yang menjadi idola kemudian lahir duet maut pada Pilkada DKI Jakarta 2012, sosok tersebut adalah duet Jokowi - Ahok. Uniknya sosok Ahok waktu itu belum terkenal seperti sekarang, lebih menonjol sosok Jokowi, pengusaha meubel dari Solo yang kurus dan selalu berpenampilan apa adanya, paling tidak begitu masyarakat mengenal Jokowi dari media.
Kemenangan duet Jokowi - Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 berbuah kesempatan manis bagi Ahok, dengan menjadi orang nomor dua di DKI Jakarta, secara otomatis Ahok telah berada diatas etalase politik paling menggiurkan di Indonesia. Kesempatan manis itu semakin bertambah manis setelah Ahok tampil menjadi sosok kebalikan dari Jokowi. Jika Jokowi lebih kalem, sabar dan tenang. Ahok tampil sebagai sosok yang keras, kasar dan tukang bentak meskipun tidak meninggalkan prinsip tunggalnya yakni "Jakarta Baru".
Teman Ahok adalah 'Partai'
Dengan Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia secara otomatis Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta berikutnya. Menjadi Gubernur menggantikan Jokowi justru tidak mengubah Ahok menjadi seperti 'Jokowi', Ahok malah menjadi lebih 'Ahok' lagi dibanding sebelumnya. Setelah keluar dari Partai gerindra, tercatat beberapa pihak seringkali menjadi lawannya dalam kebijakan Ahok tersebut, sebut saja Haji Lulung pada tragedi USB dan yang paling panas adalah penggusuran Lokalisasi Kalijodo.
Tampil dengan sifat keras dan kerja keras Ahok kemudian diidolakan sebagian besar Rakyat Indonesia yang mengenalnya melalui media. Malah saya pernah menemukan cerita, kalaupun Ahok nyalon Gubernur di Bali, Ahok pasti akan menang. Lama kelamaan Ahok hadir sebagai sosok yang dirindukan, kebalikan dari pejabat selama ini yang selalu santun tapi penuh tipu daya. Disaat itulah sekumpulan masyarakat yang menamai dirinya Teman Ahok hadir, maksud mereka adalah mereka sebagai kelompok masyarakat 'bukan partai' yang mengkehendaki Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta kembali, bukan melalui Partai.
Inginnya Teman Ahok pun mengkehendaki Bakal Calon Wakil Ahok dari independen, meskipun Ahok menunjukkan keinginannya untuk merangkul kembali Djarot sebagai Wakil Gubernur. Malah Teman Ahok meminta jika Djarot ingin menjadi wakil Ahok kelak dalam pencalonan, Djarot harus keluar dari PDI Perjuangan. Jelas permintaan Teman Ahok tidak bisa dilakukan Djarot melihat sejarah dari PDI Perjuangan begitu panjang dan berdarah - darah.
Sampai disitu tanpa mengurangi rasa hormat saya menilai Teman Ahok sudah keblinger, inginnya menghilangkan unsur Partai dalam pencalonan Ahok berikutnya, malah Teman Ahok menjadikan dirinya 'Partai' yang lain, ya mereka adalah 'Partai' sekarang.
Mitos Pemimpin Independen
Konon setelah fenomena Ahok effect ini banyak pihak yang dibuat percaya kalau satu orang Independen dapat membuat perubahan besar, Saya katakan tidak, sekali lagi dengan jelas tidak. Pemimpin Independen adalah mitos belaka. Suatu perubahan besar dan mendasar bukan dilakukan oleh satu orang saja. Namun perubahan yang besar dan mendasar itu digerakkan dengan sekumpulan orang, digerakkan secara kolektif oleh kelompok orang. Bukan satu orang. Jika kita membaca kisah para nabi, kita akan paham bahwa Yesus dan Nabi Muhammad sekalipun mungkin tidak berdaya apabila tidak didampingi oleh kawan seperjuangannya yang satu azas itu.
Seririt, 9 Maret 2016
Inginnya Teman Ahok pun mengkehendaki Bakal Calon Wakil Ahok dari independen, meskipun Ahok menunjukkan keinginannya untuk merangkul kembali Djarot sebagai Wakil Gubernur. Malah Teman Ahok meminta jika Djarot ingin menjadi wakil Ahok kelak dalam pencalonan, Djarot harus keluar dari PDI Perjuangan. Jelas permintaan Teman Ahok tidak bisa dilakukan Djarot melihat sejarah dari PDI Perjuangan begitu panjang dan berdarah - darah.
Sampai disitu tanpa mengurangi rasa hormat saya menilai Teman Ahok sudah keblinger, inginnya menghilangkan unsur Partai dalam pencalonan Ahok berikutnya, malah Teman Ahok menjadikan dirinya 'Partai' yang lain, ya mereka adalah 'Partai' sekarang.
Mitos Pemimpin Independen
Konon setelah fenomena Ahok effect ini banyak pihak yang dibuat percaya kalau satu orang Independen dapat membuat perubahan besar, Saya katakan tidak, sekali lagi dengan jelas tidak. Pemimpin Independen adalah mitos belaka. Suatu perubahan besar dan mendasar bukan dilakukan oleh satu orang saja. Namun perubahan yang besar dan mendasar itu digerakkan dengan sekumpulan orang, digerakkan secara kolektif oleh kelompok orang. Bukan satu orang. Jika kita membaca kisah para nabi, kita akan paham bahwa Yesus dan Nabi Muhammad sekalipun mungkin tidak berdaya apabila tidak didampingi oleh kawan seperjuangannya yang satu azas itu.
Seririt, 9 Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar