Sabtu, 21 Maret 2015

Komunikasi Ahok, Dalam Sudut Pandang Marketing

Komunikasi Ahok, Dalam Sudut Pandang Marketing

Gubernur DKI Jakarta yang sekarang Indonesia miliki sekarang memang unik. Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal Ahok memang memiliki komunikasi politiknya tidak seperti kebanyakan. Jika sebagian politisi berlomba - lomba menunjukan karakter yang mengayomi dan santun (akibat SBY-Effect), namun Ahok malah menunjukkan cara komunikasi yang berbeda. 

Komunikasi politik Ahok justru malah kasar, bernada tinggi, dibumbui dengan gestur ofensif yang biasanya berwujud dengan menunjuk partner bicaranya. Alasan Ahok memiliki komunikasi yang seperti itu menurutnya didasarkan dari rasa muak terhadap politisi yang selalu berbicara santun tetapi malah menjadi rampok uang rakyat.

Namun, kali ini saya tidak akan mengajak Anda untuk membahas pro dan kontra terhadap pola komunikasi Ahok ini. Karena saya akan mengajak Anda untuk membahas dari sisi marketing. Marketing? Tepat sekali, marketing.

Marketing Politik
Dalam sebuah dokumenter yang mengisahkan gagalnya kudeta Hugo Chavez di Venezuela ada satu kalimat yang membuat saya tertegun, kalimatnya yaitu "Kabar baik tentang revolusi harus disiarkan!". Ya, apa jadinya jika suatu kabar baik dari kebijakan tidak diketahui oleh rakyatnya? Tentu rakyatnya akan tidak termotivasi dan percaya jika pemimpin yang dimilikinya ternyata berhasil mewujudkan mimpinya.

Kembali ke Indonesia, namun sayangnya cara berpikir media kita sekarang masih mengandalkan 'bad news is good news'. Media kita lebih suka mengangkat bagaimana seorang Bupati membuat film porno daripada seorang Bupati yang mampu mensejahterakan rakyatnya melalui program dan kebijakannya. Akhirnya? Rakyat bersikap memilih meniru sifat buruk yang disiarkan atau menjadi apriori dengan pemerintahan. Kedua sikap tersebut bukanlah hal yang baik tentunya.

Ahok Merebut Perhatian
Kita kembali saja membahas Ahok seperti yang saya sudah paparkan di awal tulisan diatas. Dengan melawan arus komunikasi politik yang mainstream, Ahok berusaha merebut perhatian masyarakat.

Ahok kemudian menjadi magnet bagi media massa untuk meliput, karena saya yakin media massa tidak akan melewatkan peristiwa yang akan menjadi perhatian masyarakat, karena peristiwa tersebut bisa menambah loyalitas konsumen media massanya.

Mulai mengerti? Jadi jika dilihat dari sudut pandang strategi marketing terdapat simbiosis mutualisme antara media massa dengan Ahok yang hendak mencuri perhatian rakyat dengan cara bicaranya.

Media massa mendapat materi berita yang kontroversi, Ahok mendapat etalase yang siap menyiarkan setiap gerak - geriknya. Apakah tujuan media massa dan Ahok dalam menciptakan lingkungan simbiosis mutualisme ini baik dan buruk bagi masyarakatnya?

Content is Still The King
Jangan lupa, betapapun hebat kita menjajakan makanan kita namun ternyata makanan kita rasanya jelek maka kita tidak akan bisa menjual makanan kita. Nah, lalu apa hubungannyamenjual makanan dengan kisah Ahok Gubernur DKI Jakarta?

Betapapun Ahok telah merebut perhatian masyarakat Indonesia dan menjadikan dirinya magnet untuk media. Ahok tetap harus menyiarkan kebaikan - kebaikan dari kebijakan yang telah dibuat oleh rezim Pemerintahan Provinsinya. Karena, merebut perhatian masyarakat tanpa kemudian memberi bukti kepada masyarakat hanya akan menjadi blunder besar jadi Ahok.

Secara matematis dapat dirumuskan dengan sederhana yaitu besaran tingkat perhatian masyarakat sama dengan besaran jatuhnya Ahok dimata masyarakat. Bahasa lainnya, makin tinggi Ahok mendapat perhatian dari, makin kecewa masyarakat terhadap Ahok jika ia memiliki rapor merah dalam kewajibannya sebagai Gubernur DKI.

Saya berharap Ahok segera menyiarkan kinerjanya yang positif, karena dalam titik jenuh perhatian masyarakat yang sudah berhasil direbut sudah mulai terasa. Supaya Ahok menjadi teladan model kepemimpinan baru di Indonesia.

Ingat, Content is Still The King Koh!

0 komentar:

Posting Komentar