Jumat, 27 Februari 2015

Dongeng Upacara Kasada di Gunung Bromo



Dahulukala hiduplah satu keluarga yang tentram. Suami Istri tersebut bernama Ki Seger dan Nyi Anteng. Mereka berdua hidup rukun dan tidak pernah terlintas kemurungan maupun kesedihan sedikitpun dan sungguh merasakan nikmat dan rahmat dari Sang Pencipta.

Keadaan alam sekitar tempat tinggal mereka tersebut sangatlah menyenangkan, mereka berdua bekerja sama mengolah tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Udara bersih, tanah subur, air sungai mengalir dengan bersihnya membuat hidup suami istri ini begitu damai. 

Hari demi hari berganti dan berlalu dengan cepat, sampai-sampai mereka lupa pada usia yang semakin tua namun belum memiliki seorang anak. Suatu hari, ketika kegiatan rutinitas sudah selesai dikerjakan mereka berdua duduk bersama dan bercakap-cakap tentang anak. Merekapun tidak tahu mengapa karena sampai se-usia ini mereka belum dikarunia seorang anak. Namun muncullah keinginan dari sepasang suami istri ini untuk bisa memiliki seorang anak. Maka dari itu akhirnya mereka menempuh jalan dengan cara bersemedi agar mendapatkan anak. Setiap hari mereka berdoa di kaki gunung Bromo karena mereka berdua percaya bahwa dengan berdoa tanpa tiada henti setiap hari pasti dikabulkan. 

Pada saat bertapa, Nyi Anteng mendengar suara bahwa kelak ia akan melahirkan dua puluh lima orang anak namun harus ada salah satu anaknya itu harus dikorbankan dan itu adalah anak sulungnya. Sempat terlihat kesedihan dari wajah Nyi Anteng ketika mendengar kalimat terakhir bahwa anak yang sulung harus menjadi korban nantinya. Namun karena keinginan itu begitu kuat maka syaratpun di iyakan yang penting mereka berdua bisa memiliki anak.

Waktu berjalan terus dan apa yang didengar waktu bersemedi itupun menjadi kenyataan. Nyi Anteng hamil. Terpancar cahaya bahagia dan senang karena anak yang didambakan akhirnya akan datang juga.

Setelah genap bulannya, Nyi Anteng melahirkan seorang anak laki-laki. Anak tersebut diberi nama Kusuma. Bayi tersebut tumbuh dengan cepat dan memiliki badan sehat dan wajah yang tampan. Sungguh mulialah pemberian Sang Pencipta itu. Mereka akhirnya mempunyai dua puluh lima orang anak dan membesarkan dengan penuh kasih sayang. Hidup mereka kini lebih penuh berwarna dan bahagia karena dengan kehadiran dua puluh lima anak itu sampai- sampai Nyi Anteng dan Ki Seger lupa akan janjinya.

Waktu terus berjalan dan meski lama tenggang waktunya namun janji tetaplah janji. Ada saatnya akan ditagih juga. Gunung Bromo mulai memberi tanda-tanda peringatan. Suara gunung Bromo bergemuruh, asap berkepul kepul. Nyi Anteng dan Ki Seger pun teringat akan janjinya. Perasaan sedih dan sesal meresahkan hati mereka. Bagaimana mungkin mereka tega melemparkan anak kesayangan ke kawah gunung Bromo? Mereka berdua berusaha menghilangkan perasaan sedih itu. Seandainya dapat diganti persembahan kepada dewa di gunung Bromo dengan dirinya dan bukan anaknya mereka rela mengorbankan diri mereka itu yang sudah tua namun hal itu tak akan mungkin terjadi karena Dewa menghendaki anak mereka yang sulung.

Dari hari ke hari Nyi Anteng semakin menderita tekanan batin karena harus menyerahkan anak sulungnya yang tampan dan yang paling di sayanginya. Sementara gunung Bromo semakin keras bereaksi terus. Letusan-letusan mulai terjadi, lelahan lahar pun begitu derasnya. Dan ketika malam itu juga Nyi Anteng bermimpi bahwa Dewa Brahma menagih janji, bila tidak di tepati kedua puluh lima anaknya sekaligus akan dimintai secara paksa. Selesai mendengar ucapan Dewa Brahma, terbangunlah Nyi Anteng dari tidurnya. Ia tidak dapat berbicara dan hanya menangis terus karena teringat akan mimpinya.

Kusuma anaknya yang sulung, sudah menginjak dewasa. Ia melihat ibunya sedih terus setiap harinya. Maka suatu hari Kusuma akhirnya memberanikan diri bertanya kepada Ibunya ”Ibu, mengapa ibu nampak sedih? Apakah saya boleh mengetahui sebab musababnya, Bu?" Jawab Nyi Anteng.

"Anakku, Kusuma! Ibu harus mengorbankan engkau di kawah gunung Bromo. Ibu tidak sampai hati untuk melemparkan dirimu, nak! Apabila tidak, semua saudara-saudaramu dan engkau akan diambil secara paksa oleh Dewa Brahma." Mendengar kata-kata ibunya, Kusuma tertegun diam seribu bahasa.

Hatinya sedih, namun kemudian ia pun berkata "Sudahlah Bu! Hilangkanlah perasaan sedih dihati itu. Saya bersedia menjadi korban demi Ayah dan Ibu, adik-adik serta keselamatan orang-orang Tengger pada umumnya. Saya rela menjadi korban Bu asalkan kalian bisa hidup damai dan bahagia."

Begitu terharu mendengar kata - kata anaknya itu hingga sang Ayah dan Ibunya jatuh pingsan. Namun pada hari yang telah ditentukan, dibawalah Kusuma ke kawah gunung Bromo. Ia diserahkan sebagai korban dilemparkan ke kawah gunung Bromo dengan disaksikan oleh orang-orang sekitar kaki gunung Bromo.

Kurban Kusuma oleh Nyi Anteng dan Ki Seger di terima oleh Dewa. Sejak peristiwa itulah gunung Bromo tidak lagi terdengar suara gemuruh dan tenang kembali seperti semula. Petani mulai mengerjakan sawah dengan tentram dan aman. Demikian juga dengan Nyi Anteng dan Ki seger hidup tenang dan damai bersama kedua puluh empat anaknya itu. 

Maka sampai kini masyarakat Tengger mengadakan upacara korban dibawah gunung Bromo untuk menghormati roh Kusuma dan itulah yang disebut dengan upacara KASADA. Namun yang dijadikan korban bukan lagi manusia melainkan berupa sesaji kepala kerbau dan hasil panen lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar