Pagi itu Budi baru pulang ke rumah. Malam sebelumnya memang hari sabtu, sebagai mahasiswa Budi yang juga aktif di organisasi kampus Budi memang selalu menghabiskan malam dengan bergadang. Memang tidak ia lewati dengan dugem ataupun menghabiskan uang di tempat hiburan malam. Budi bergadang, menghabiskan malam dengan kawan - kawannya. Membicarakan banyak hal terutama tentang Negaranya.
"Baru pulang nak?", tanya Bapaknya dengan kaos singlet dan sarung berlipat di perutnya yang tambun.
"Iya pak", jawab Budi sayup - sayup mengantuk.
Lampu jalan yang temaram didepan rumah Budi mulai mengakui cahaya matahari pagi yang mulai menghangat,
"Ngobrolin tentang apa semalam memangnya? Biasanya juga tidak sampai pagi", si Bapak memperhatikan anak sulungnya yang menghempaskan tubuh di sofa tua. Bapaknya tahu betul kebiasaan anaknya itu, jika malam tidak pulang pasti ada saja kegiatan yang persiapkan. Jika tidak ada acara besoknya, setidaknya ia tahu anaknya sedang diskusi sampai pagi.
"Diskusi tentang Pancasila Pak, hari ini kan hari kelahiran Pancasila. Tepat saat Bung Karno berpidato di depan BPUPKI", jawab Budi, ia sekarang mengusap - usap matanya yang menghitam.
"Lalu?"
"Iya Pak, Bapak tahu tidak. Kalau Pancasila sebenarnya diperas oleh Bung Karno menjadi Trisila. Kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia itu disintesiskan menjadi Sosio-Nasionalisme, Nasionalisme yang berakar dari dan untuk masyarakat. Kalau sila Keempat dan Kelima disintesiskan menjadi Sosio-Demokrasi, yaa.. Demokrasi yang berakar dari dan untuk masyarakat", jelas Budi cukup panjang dan rumit seperti aktivis kebanyakan.
"Lah Ketuhanannya?",
Budi langsung menjawab pertanyaannya. Tetap dengan mata terpejam, tidak kuat menahan kantuk.
"Ah Bapak ini, belum selesai Budi jelaskan. Ketuhanan berdiri sendiri, kalau dijumlahkan genap tiga kan Pak. Makanya disebut Trisila".
Si Bapak membuka gorden membiarkan cahaya matahari yang hangat masuk. Mengusir sisa angin dingin dalam rumah.
"Gotong royong", Budi melanjutkan penjelasannya dan mulai mengambil ransel dan jaket yang ia taruh sembarangan di sebelah Sofa yang mulai berlubang itu.
"Trisila itu diperas lagi menjadi Ekasila, nama lainnya Gotong Royong. Gitu loh Paaakk".
Si Bapak hanya menoleh anaknya dengan senyum dibawah kumisnya yang tebal. Meski sibuk mencari sapu karena hendak menyapu, Bapak tetap menyimak dengan seksama.
"Oh gitu", jawab bapak memandang anaknya yang mulai memasuki kamar tidur.
"Udahlah pak, aku mau tidur dulu. Capek sekali tidak tidur semalaman.", Budi merasa sia - sia menjelaskan tentang lahirnya Pancasila kepada Bapaknya yang hanya menjawab tipis.
Si Bapak tidak menjawab karena telah berhasil menemukan sapu yang ia cari - cari. Sementara itu aroma kopi hitam kesukaan bapak menyembul dari Dapur yang hanya ditutupi korden berwarna kegelapan. Si Ibu keluar membawa secangkir gelas Kopi diatas nampan dan beberapa potong pisang gorang disebelah cangkir kopi itu.
"Lah mau kemana kamu? Ini hari minggu loh, kamu gak bareng nyapu sama pemuda - pemuda sekampung?", tegur Si Ibu yang menaruh nampan diatas meja, meja kecil disebelah pintu kamar Budi.
"Tapi aku ngantuk Bu", Budi melempar tasnya ke atas kasur.
"Lah, katanya gotong royong, ekasila yang tadi kamu bilang itu. Masa tadi jelasin panjang lebar malah kamu gak melakukannya", ternyata Ibu diam mendengar diam - diam saat membuat Kopi.
Budi diam dan ternyata Ibunya benar.
Suatu tempat, Minggu 1 Juni 2014
dimuat di Facebook 31 Mei 2012
mendidik
BalasHapussemoga isinya berkenan gan
Hapus