“Kita mengenal Hasan Al-Banna, Karl Marx, Taqiyuddin Annabani, Frederich Engels, Adam Smith, Niccolo Macchiavelli, Adolf Hitler, dan Soekarno. Apa persamaan pandangan mereka? Bagi orang awam mungkin tidak ada. Mereka adalah tokoh yang bertolak belakang antara satu sama lain, hidup pada zaman berbeda, dan bisa jadi mempunyai pemikiran saling berbenturan. Namun ada satu hal yang hampir kesemua tokoh itu bertemu pada satu titik puncak, yakni pandangan mereka tentang pentingnya pemuda.
Seorang tokoh proklamator Indonesia, Soekarno, pernah berkata, “Beri Aku 10 pemuda maka akan Aku guncang dunia”. Sekiranya pesan itulah yang cukup dekat dengan kita sebagai mahasiswa. Pesan itu disampaikan oleh bangsa kita sendiri yang juga pendiri bangsa ini. Paling tidak dibanding kita menelaah, majmuatun rosaail-nya Hasan Al-Banna, atau das kapital-nya Karl Max, pesan Soekarno yang seorang Indonesia, lebih mudah kita artikan tanpa alih bahasa. Dan bukan bermaksud memperdebatkan ideologi, namun kesemua tokoh besar itu mengajari kita, bahwa para pemuda selalu bisa menginspirasi perubahan dunia. Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok, Indonesia 20 atau 30 tahun lagi, sangat ditentukan oleh anak-anak muda yang hari ini berada di kampus-kampus, sekolah-sekolah, gang-gang sempit, bahkan dari pengapnya penjara. Masa depan Indonesia ada di tangan kita, bukan di tangan orang-orang tua.
Seorang pemimpin tidak lahir begitu saja, melainkan ia melalui proses-proses penggemblengan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara sadar atau tidak sadar proses ini bisa jadi sangat beragam, bukan semata mengikuti kehendak sang pemimpin, namun juga pada kekuasaan yang ada di luar jangkauan mereka. Jika dibandingkan, pemimpin yang lahir dari proses yang panjang ketimbang pemimpin yang lahir secara instan, tentu punya banyak kelebihan, dia bisa berpikir lebih cermat ,kreatif dan terukur. Sehingga masalah yang dihadapinya, setidaknya tidak diperlakukan sebagai gunung tinggi yang tak mungkin didaki, atau lautan luas yang tak mungkin diseberangi. Masalah yang dihadapi oleh para pemimpin itu, hanya menjadi batu pijakan bagi sang pemimpin untuk melahirkan kerja-kerja yang lainnya. Mahasiswa Indonesia khususnya yang berada di kampus-kampus, juga merupakan bagian yang mencerminkan Indonesia di masa yang akan datang. Terlebih mereka yang hari ini aktif dalam organisasi-organisasi mahasiswa, mungkin akan memegang peranan yang sangat besar suatu hari nanti.
Pemimpin masa depan yang dibutuhkan Indonesia setidak-tidaknya harus mempunyai visi yang unggul, mandiri, dan berkarakter. Pemimpin yang unggul akan mampu menginspirasi bangsanya di tengah persaingan kancah dunia, ia akan disegani kawan maupun lawan. Pemimpin yang mandiri nantinya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak bergantung pada bangsa lain, menjadikan bangsanya bangsa terhormat bukan menjadikan bangsanya sebagai een natie van koelis en aander de naties (Bangsa kuli yang menjadi kuli bangsa lain). Pemimpin yang berkarakter adalah pemimpin yang punya ke-khasan tersendiri ketimbang pemimpin biasa. Pemimpin berkarakter punya intuisi dalam menghadapi setiap masalah, dan biasanya karakter seorang pemimpin amat penting karena karakter itulah yang abadi dalam serial buku keteladanan kuliah kehidupan.”
Benar-benar, saya cukup kagum atas pandangan kawan-kawan Dewan Mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (DEMA UNS). Meski dalam sebuah proposal yang terpenting adalah Rancangan Anggaran Biaya (RAB) akan tetapi terkadang saya membaca latar belakang dari proposal tersebut. Pemikiran-pemikiran yang tertuang didalam latar belakang tersebut sangat lugas, apa adanya dan memang begitu adanya.
Saya sepakat.
Saya sepakat kalau didalam proposal kita tidak hanya bergulat dengan angka-angka pragmatis namun pengasahan pemikiran-pemikiran non-pragmatis juga harus menjadi poin yang harus kita perhatikan.
Merdeka!